by Leonardo Rimba on Tuesday, February 7, 2012 at 1:36am
Kalau anda kenal saya langsung, anda akan tahu saya tidak pernah pakai kata Allah, kecuali ketika bercanda saja.
Oh (sebut apa ya ?)
Bocoran: Saya bicara dengan Tuhan menggunakan bahasa Inggris, saya panggil dengan sebutan Lord (kayak Lord Voldermort, di kisah Harry Potter), tapi itu juga sudah jarang sekali, karena saya tahu saya cuma bicara dengan diri saya sendiri saja. For your info, kata Lord inilah yg diterjemahkan ke bahasa Indonesia menjadi Tuhan. Pedahal terjemahan yg lebih pas, Tuan atau Gusti. Kalau God atau Allah, tidak pernah saya ajak bicara. Gak napsu aja. The kata is terlalu pasaran, dimana-mana semua orang menyebut (atau bahkan meneriakkan) kata God atau Allah itu. Bikin gak nepsong. Gak nepsong buat disepong. Bukan hemong.
Lagu meditasi saya untuk hari ini pakai bahasa Belanda, untuk menghormati sebagian leluhur saya yg orang Belanda. Don't be minder to deal with orang Belanda or orang bule pada umumnya. Mereka jauh lebih menghargai orang Indonesia dibandingkan orang Indonesia saling menghargai sesama orang Indonesia sendiri. Itu pengalaman saya. Dan itu orang-orang Belanda banyak sekali yg relijius, tanpa gembar-gembor. Tanpa sesumbar, tanpa pamer.
Dari semua orang Barat, Belanda adalah bangsa yg paling low profile. Low profile sekali walaupun sumbangannya bagi peradaban dunia besar sekali. Belanda adalah negara liberal pertama di satu dunia. Dan tetap paling liberal, paling manusiawi, sampai saat ini. Kita patut bangga karena sebagai satu negara kita disatukan oleh Belanda. Kita langsung menerima tutorial dari bangsa yg paling liberal. Tapi itupun masih kalang kabut hasilnya karena, maklumlah, dasarnya memang rapuh. Kita mewarisi terlalu banyak elemen penipuan diri sendiri yg berasal dari nenek moyang Nusantara. Terlalu banyak bakat penipuan diri sendiri, dan penipuan orang lain juga.
Belanda tidak begitu. Belanda relatif jujur. Demokratis, jujur, egaliter. Lebih segala-galanya dibandingkan Inggris yg, sampai sekarang, masih bersekat-sekat masyarakatnya. Ada kaum bangsawan dan kaum rakyat jelata. Belanda tidak begitu, semuanya rakyat jelata.
Jangan minder sama orang bule. Jangan minder sama Belanda. Mereka lebih menghargai kita dibandingkan kita menghargai diri kita sendiri. Mereka lebih menghargai kita dibandingkan kita saling menghargai sesama bangsa kita sendiri.
Gold, Gospel and Glory itu urusannya Spanyol dan Portugal. Belanda tidak menyebarkan agama. Itu negara pedagang yg kebetulan orang-orangnya relijius. Relijius liberal. Hemat cenderung pelit. Tidak bombastis, tidak suka heboh-hebohan, tidak suka membanggakan diri. Tidak seperti Spanyol dan Portugal yg kelakuannya agak kemaruk, mungkin karena 800 tahun dijajah Arab.
Anda bisa relijius dan liberal. Menjadi penyokong hak asasi manusia (HAM) nomor satu di dunia, egaliter, sekaligus menyisihkan sumbangan luar negeri terbesarnya untuk Indonesia. Itu yg dilakukan Belanda sampai saat ini. Tanpa gembar-gembor. Tanpa menyombongkan diri.
Saya sendiri heran kenapa orang Indon begini sombong karena Belanda sama sekali tidak sombong. Mungkin Belanda termasuk salah satu dari 5 bangsa yg sumbangannya paling besar bagi peradaban modern saat ini, tetapi sama sekali tidak sombong. So, dari mana asalnya kesombongan orang Indon? Sombong atau minder? Rendah diri?
Untuk anda yg belum tahu, orang Ambon dan orang Manado sejak jaman kolonial tidak pernah merasa minder berhadapan dengan orang Belanda. Mereka tahu orang Belanda tidak rasis. Orang Ambon dan orang Manado diperlakukan sama oleh orang Belanda. Tetapi, di Jawa beda. Di Jawa, orang Belanda berhubungan dengan rakyat melalui para priyayi lokal. Jadinya timbul salah kaprah sampai sekarang, seolah-olah Belanda rasis, membedakan orang. Pedahal tidak. Yg membedakan orang itu para priyayi pribumi sendiri. Belanda sendiri tidak begitu.
Di masa kolonial, ada istilah orang mardijkers, yg dengan lidah Melayu akhirnya disebut merdeka. Orang merdeka adalah orang mardijkers. Pengertian orang mardijkers adalah merdeka, artinya bukan budak. Budak bawahan para aristokrat lokal, yaitu raja-raja pribumi. Yg masuk kelompok mardijkers di masa kolonial adalah orang Ambon dan Manado. Mereka langsung diperlakukan setara dengan orang Belanda, karena tidak ada raja-raja lokal.
Di Jawa tidak begitu. Orang Jawa, bahkan yg di Jawa Barat, semuanya di bawah priyayi lokal. Makanya mentalnya beda. Merasa diri tertindas, dan menyalahkan Belanda. Pedahal yg menindas mereka dari dulu (dan mungkin sampai sekarang juga) adalah para priyayi lokal. Kaum menak di masyarakat mereka sendiri. Dan disini termasuk ulama.
Ambon dan Manado tidak begitu. Ulama-ulama Ambon dan Manado tidak berhak untuk menindas orang. Mereka pakai standard Belanda, dari dahulu sampai sekarang. Makanya pikirannya lebih maju. Liberal. Maluku Selatan dan Manado itu liberal, paling maju. Makanya Maluku Selatan tidak mau gabung dengan NKRI dahulu, karena mereka tahu di Jawa umumnya penduduknya bermental budak.
Ada juga orang-orang Sumatra Barat yg di masa kolonial minta statusnya disamakan dengan orang Belanda. Kisah-kisah mereka bisa kita baca di buku-buku hasil karya penulis generasi Pujangga Baru. Jadi, Belanda memang banyak sekali membangun sekolah di Sumatra Barat. Dan orang-orang Sumatra Barat akhirnya sadar bahwa yg namanya mardijkers atau merdeka adalah status sama seperti orang Belanda. Dan itu dinikmati oleh orang Ambon dan orang Manado. Status sama artinya berkedudukan sama di depan hukum, menggunakan hukum pidana dan perdata yg sama.
Tanpa statusnya disamakan, maka orang Sumatra Barat harus tunduk kepada para pemuka adat dan agama mereka. Dan itu bukanlah mardijkers, bukan merdeka. Merdeka adalah status sama seperti dinikmati orang Belanda, Ambon dan Manado.
Nah, ini sejarah juga, bukan? Tetapi banyak yg tidak tahu itu. Banyak yg tidak tahu bahwa setelah penyerahan kedaulatan dari Belanda ke NKRI, yg namanya perbedaan status itu sudah tidak ada lagi. Merdeka atau mardijkers artinya status sama di depan hukum, tidak diperlakukan beda lagi, tidak ada lagi keharusan rakyat di Jawa dan tempat-tempat lain untuk tunduk kepada priyayi dan ulama lokal.
Itu cukup dimengerti waktu kita baru merdeka, ketika kerajaan-kerajaan itu dibubarkan oleh rakyat. Termasuk Kesunanan Solo yg dibubarkan dengan suara bulat. Sayangnya, pengertian itu mulai hilang lenyap setelah Sukarno dikudeta. Di masa Suharto, elemen tradisional yg mendorong orang untuk tunduk kepada priyayi dan ulama lokal kembali dikedepankan. Sampai saat ini. Orang sudah lupa bahwa merdeka atau mardijkers artinya bebas dari penjajahan oleh para priyayi dan ulama.
-
Walaupun Sultan Agung dipukul mundur dari Batavia, dalam literatur istana Mataram saat itu dituliskan bahwa Belanda telah mengakui Mataram sebagai atasannya. Setiap tahun mengirimkan upeti. Yg disebut upeti adalah pembayaran untuk membeli beras. Mataram menjadi supplier beras untuk Batavia. Tetapi kepada rakyat, dijejalkan kebohongan bahwa Belanda membayar upeti kepada Mataram. Dan Belanda tentu saja tidak perduli isapan jempol itu, walaupun beberapa ratus kemudian Belanda juga berubah, sehingga di saat penobatan Sultan Yogya, residen Belanda duduk di atas kursi yg sama dengan Sultan. Kalau tidak begitu, rakyat akan dibohongi terus. Dibilang, Belanda datang sebagai tamu untuk mengakui kedaulatan Sultan. Itulah cara-cara politik di Nusantara. Dan Belanda yg paling mengertinya.
Pelajaran: Kebohongan politik sudah ada sejak jaman dahulu kala.
Sumber kepustakaan: Nusantara: A History of Indonesia, oleh Bernard H.M. Vlekke. Sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia juga menjadi Nusantara: Sejarah Indonesia.
Di buku itu anda juga bisa baca bahwa Belanda menaklukkan Indonesia Timur (termasuk Bali) berdasarkan perjanjian dengan Sunan Solo, dimana dinyatakan bahwa Sunan Solo menyerahkan "wilayahnya" yg berada di sebelah Timur pulau Jawa menjadi milik Belanda. The question is, sejak kapan wilayah di sebelah Timur pulau Jawa menjadi milik Sunan Solo sehingga dia berhak menyerahkannya kepada Belanda? Tentu saja itu tidak betul. The Sunan mengaku-ngaku, dan Belanda juga tahu itu, tetapi tetap dipegang saja, sebagai alasan bagi Belanda untuk mencaplok wilayah di sebelah Timur pulau Jawa, terutama Bali. Alasannya, sudah dikasih oleh Sunan Solo, the "pemilik".
Kalau Papua lain lagi, alasan Belanda adalah perjanjian dengan Sultan Ternate yg mengakui Papua sebagai miliknya. Jadi, ketika Sultan Ternate membuat perjanjian dengan Belanda untuk menyerahkan Papua, maka Belanda memiliki alasan untuk masuk kesana. Alasannya, sudah dikasih oleh Sultan Ternate, again the "pemilik" (dalam tanda kutip.. dalam tanda kutip..)
So, yg namanya mitos devide et impera perlu dikaji lagi dengan seksama dan dalam tempo yg sesingkat-singkatnya, karena itu tidak benar. Yg lebih tepat adalah cocologi, aku-mengaku. Sunan Solo mengaku wilayah sebelah Timur dari pulau Jawa adalah miliknya. Sultan Ternate mengaku Papua adalah miliknya. Cuma aku-mengaku saja, dan merasa berhak menanda-tangani perjanjian dengan Belanda, yg isinya menyerahkan wilayah-wilayah itu untuk Belanda. Dengan imbalan materi, tentu saja. Dan Belanda masuk dengan kekuatan sendiri, berbekal justifikasi (pembenaran) yg berasal dari perjanjian-perjanjian sebelumnya dengan para penguasa lokal yg mengaku-ngaku wilayah orang sebagai miliknya.
Hohohohoho
Pada pihak lain, kalau anda perhatikan jalan pemikiran kaum kolonialis liberal, anda akan mengerti juga bahwa para kolonialis punya kewajiban untuk memajukan wilayah administrasinya masing-masing. Kewajiban Belanda di Indonesia. Kewajiban Inggris di India. Kewajiban AS di Philipina. So, ini bukan urusan peras memeras susu saja, melainkan kewajiban bangsa yg lebih beradab untuk mem-beradabkan bangsa-bangsa yg kurang beradab.
-
Dan apa yg saya tulis ini juga bukan tentang beragama atau tidak beragama, tetapi tentang isi otak. Apa yg ada di dalam otak orang, adalah isi otak orang itu sendiri. Tidak ada hubungannya dengan orang lain. Orang berhak untuk punya isi otak apapun. Asal tidak mengganggu orang lain secara fisik, maka isi otak segala macam merupakan urusan pribadi.
Menjadi orang yg tidak fanatik, artinya menjadi tidak perduli dengan segala macam isi otak orang. Orang mau percaya apapun merupakan urusan orang. Saya mau percaya apapun, atau mau tidak percaya apapun, merupakan urusan saya sendiri. Dan prinsip ini ternyata akhirnya saya tulis disini, mungkin karena banyak yg membutuhkannya. Di tempat lain cuma saya tulis secara implisit, disini saya tulis secara eksplisit karena mungkin banyak yg tidak tahu. Mungkin semuanya belum tahu.
Anda boleh berpikir apapun, itu yg namanya sikap tidak fanatik. Saya tidak perduli apapun yg anda pikirkan karena saya tidak fanatik.
Oh (menjadi orang yg tidak fanatik)
Widodo Baskoro: Oh (saya belum tahu, sekarang sudah tahu)
8 hours ago · Like · 1
Muhammad Ateis:
cuplik (mutilasi):
cocologi, aku-mengaku. Sunan Solo mengaku wilayah sebelah Timur dari pulau Jawa adalah miliknya. Sultan Ternate mengaku Papua adalah miliknya. Cuma aku-mengaku saja
---------------------------
sprt halnya orang jawa saat ini, NKRI harga mati = mengaku-aku wilayah lain diluar pijakannya bagian dr miliknya, cuman ngaku-daku-daku(bhs jawane, klo anak kecil suka mainan temannya, diakui miliknya trus diminta)
8 hours ago · Like · 2
Archer Clear: Memang asik Menjadi manusia Merdeka, dan mereka yang merdeka biasanya lebih sibuk membangun kualitas dirinya dan terus belajar. Yang fanatik akan tetap berputar-putar ditempat yang sama, dan itu sangat tragis.
8 hours ago · Like · 4
Pandu Rakasiwi:
pantesan,di manado orang terbiasa cuma panggil nama saja,tanpa embel2 apapun,dan itu kadang2 nggak pake batasan umur,anak umur 10th biasa aja tuh cuma panggil nama pada om2 umur 30th.
yg "sakit kepala" ya orang jawa yg tinggal disana...,romantisme feodalnya merasa terlukai...
ketika dipanggil "mas" pun salah kaprah jadinya,pokoknya tanpa batasan umur,orang yg dr jawa ya dipanggil mas.
hal lucupun tak terelakkan,ketika anak umur 10th panggil kakek2 penjual bakso dngan sebutan "mas"...
oh(nyambung nggak ya dngn liberalnya manado)
8 hours ago · Like · 4
Ni Nengah Hardiani: Terimaksih leo. Sejak kecil orangtua saya mengajarkan untuk tidak fanatik.
5 hours ago · Like · 1
Leonardo Rimba II: Untuk teman-teman yg belum tahu, ini buku saya yg ketiga, baru terbit satu bulan lalu, judulnya Pelangiku Warna Ungu (Sejuta Agama Satu Tuhannya), sudah bisa dibeli di semua TB Gramedia dan TB Toga Mas di Jakarta, Surabaya dan sekitarnya http://www.facebook.com/photo.php?fbid=270059226381728&set=a.270059199715064.75531.100001329572395&type=3&theater
Buku Pelangiku Warna Ungu (Sejuta Agama Satu Tuhannya)
Segera Terbit: Buku Pelangiku Warna Ungu (Sejuta Agama Satu Tuhannya)
Judul: Pelangku Warna Ungu (Sejuta Agama Satu Tuhannya)
Penyunting: Endah Sulwesi
Penyelaras Bahasa: Salahuddien Gz
Pemindai Aksara: Muhammad Bagus SM
ISBN: 978-979-17998-1-2
Harga: Rp 50.000,- (248 hlm.)
Penerbit: Dolphin
Email: bunda_laksmi@yahoo.com
---------------------------------------------------------------
Pelangiku Warna Ungu
Sejuta Agama Satu Tuhannya
“Buku ini membedah esensi jati diri manusia. Leo mengajak kita untuk melihat
diri manusia sebagaimana adanya, bukan dari sudut pandang ‘katanya’.
Kalemkan emosi, niscaya Anda akan mencecap intisarinya.”
—Achmad Chodjim, penulis buku bestseller Syekh Siti Jenar
---------------------------------------------------------------
Kover Belakang
Pelangiku Warna Ungu
Apakah Tuhan yang menciptakan manusia, ataukah manusia yang menciptakan Tuhan?
Siapakah yang membuat agama? Tuhan atau manusia?
Bisakah orang memperoleh keselamatan tanpa beragama?
Benarkah Tuhan akan menyiksa manusia jika mereka tidak menyembah-Nya?
Bagaimana cara “bertemu” dan “mengalami” Tuhan agar hidup kita bermakna?
Lima pertanyaan menantang di atas, di samping beberapa pertanyaan lainnya, akan dibahas dan diuraikan dalam buku ini, dengan bahasa yang ringan dan mudah dicerna, yang menggelitik kesadaran kita agar bangkit dari tidur lelapnya. Agar kita mampu melampaui simbol dan sekat-sekat yang membuat manusia menderita dan terus bertikai atas nama Tuhan dan agama.
Leonardo Rimba mengajak kita untuk menghayati dan melampaui simbol-simbol yang berserakan dalam agama-agama, demi merasakan esensi yang sesungguhnya satu adanya. Ia mencoba mengajak kita untuk mencari dan menemukan yang “ungu” dari beragam warna pelangi. Ungu adalah warna terakhir dari pelangi, warna spiritual yang melampaui beragam warna.
Buku ini mengajak kita untuk meniti ke dalam diri, menemukan warna “ungu”, yang satu, yang ada di dalam diri setiap manusia. Tanpa meniti ke dalam diri melalui jalan spiritual, mustahil kita bisa menemukan Kesatuan, Tuhan, di rimba perbedaan.
---------------------------------------------------------------
Buku ini bisa dipesan sekarang juga (secara inden) dengan diskon 20% (jadinya Rp 40.000, belum termasuk ongkos kirim) melalui “Salahuddien Gz”, email: bunda_laksmi@yahoo.com. Buku akan dikirim melalui Pos/Tiki dengan garansi. Pembayaran melalui transfer ke rekening:
BCA KCP Lamongan
No. Rekening: 3300473023
a.n. Shalahuddin Gz
Atau:
MANDIRI Cabang Fatmawati
No. Rekening: 127-00-0443912-9
a.n. Shalahuddin Gz
Kover buku Pelangiku Warna Ungu (Sejuta Agama Satu Tuhannya)
By: Leonardo Rimba
about an hour ago · Like
Oscar Darrell: mas Leo,,boleh saya copas ya? Buat note jg,,buat input temen2 fb lainnya,,to open up their minds,,thank you. :-D
55 minutes ago · Like · 1
Leonardo Rimba II: Oh (boleh)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar