Made: Ada yang kesurupan, saat upacara agama di kampung saya.
Nengah: Banyak orang Bali yang stress karena beban adat, beban adat dan agama.
Wid: Tapi mayoritas tidak begitu kan, Ngah?
Made: Kalo di lakoni dengan prinsip air mengalir .... kayaknya ngga sampe stres.....
Heru: Kok bisa kesurupan?
Mansu: Kalau kesurupan ngapain? Ngamuk apa joged?
Ajeng: Teriak-teriak doang biasanya....
Nengah: Masalahnya banyak yang ngga sadar sudah stress ringan atau pun berat, tanda-tandanya: gampang kesurupan, punya keluhan sakit tapi kalau diperiksakan secara medis tak terlihat adanya penyakit tertentu (psikosomatis).
Bila tak terdeteksi secara medis biasanya orang Bali menganggap ada orang yang mengguna-gunai dia, lari ke dukun, padahal mungkin karena dia stress berat, jadinya sakitnya sudah sampai ke sakit fisik.
Biaya adat dan agama di Bali lumayan mahal, terutama untuk kalangan yang kurang mampu secara ekonomi, dituntut oleh adat dan masyarakat, jadinya stress, banyak juga yang sampai jual tanah supaya bisa mengadakan upacara. Jadi jatuh miskin. Banyak juga karena mahal ini, orang Bali pindah dari agama asalnya (Hindu) ke agama Kristen misalnya.
Upacara adat dan agama yang gemerlap ini memang bisa mengundang turis, jadi dilema juga di kalangan masyarakat Bali.
Kalau aku pribadi tak memaksakan diri untuk melakukan ritual yang tidak mampu aku lakukan. Tak mampu secara ekonomi atau aku tak mampu memahaminya karena ada ritual yang tidak masuk akal menurutku atau ritual yang sudah tak relevan dengan kondisi saat ini.
Yanz: Padahal ngga ada aturan biaya adat harus mahal. Tergantung ego masing-masing orangnya lah.
Nengah: Itu yang aku lihat dan amati di Denpasar dan sekitarnya.
Yanz: Ngga cuma di Denpasar saja. Seluruh Bali juga seperti itu. Setiap ada upacara adat pasti buat banten (sesajen) yang besar, pakai buah-buah import, kebaya baru, bling2 etc. Yaa salah sendiri kalau akhirnya stress karena habis duit banyak.
Kafirun: Wajar, karena sudah menjadi kompetisi tak terlihat antar penduduk Bali. Demikian jug adengan adat Batak. Sama saja, gengsi memang mematikan. Selamat kesurupan!
Yanz: Kesurupan yang disengaja. Dasar manusia ngga lepas dari yang namanya materi dan kompetisi...
Nengah: Kesurupan masal juga sering terjadi akhir-akhir ini di beberapa sekolah menengah di Kuta dan sekitarnya. Sekali kesurupan bisa menular ke belasan siswa. Bisa terjadi kesurupan massal hampir tiap minggu sepertinya.
Kafirun: Fenomena kesurupan massal itu fenomena unik yg perlu diteliti lebih lanjut, sayangnya bahan penelitiannya random jadi sulit untuk diteliti hingga akhir.
Nengah: Waktu aku dulu kerja di pabrik baju, kesurupan massal biasanya terjadi di kalangan buruh pabrik ketika ritme kerja sedang tinggi, deadline pengiriman barang sedang ketat, kerjaan harus cepat diselesaikan.
Mansu: Sama saja ya dengan agama lain, di Islam juga, kalau ada yang meninggal (di kampung saya) harus ada, 7 hari tahlilan, 40 hari, 100 hari, 1000 hari. Bagi orang mampu gak masalah, bagi yg miskin kasihan, tapi dipaksain.
Nengah: Paman saya dulu jual tanah dan berhutang untuk membiayai upacara ngaben (perabuan jenazah secara Bali) istrinya.
Kafirun: Mansu: Kalau 7 hari, 40 hari, 100 hari , 1000 hari itu dari agama atau adat ya? Kalau memang begitu yang kasihan kalau orang yang lahir dari suku yang menjunjung tinggi adat sukunya , dan juga agama, tapi biasanya tidak bisa keduanya harus pilih salah satu. Seperti di Batak Toba, yang kental itu adatnya, agamanya cuma sekedarnya untuk urusan adat (lahir, mati, kawin , dan lain-lain).
Mansu: Kafirun, itu adat yang berasal dari Hindu, tapi sebagian besar umat Islam di Jawa masih pakai, bahkan ada tetanggaku seorang tukang becak mampu mengadakan acara itu, walaupun kita menyumbang. Jadi kalau ada tetangga saya yang meninggal biasanya saya nyumbang kira-kira cukup buat makan 7 kali, biar impas.
Kafirun: Wait, berarti kalau dipikir-pikir, yang paling stress memang Bali sepertinya, secara adat di tuntut, dan agama mengendorse upacara-upacara tersebut ya?
Nengah: Makanya penting bagi generasi muda Bali untuk kritis, dan mau mempelajari adat dan agamanya. Sehingga tak jadi korban pemaksaan dogma/ritual yang sudah tidak relevan.
Kafirun: Kalau ngaben itu apakah tidak bisa seperti kremasi ala China ya? Tinggal masukkan krematorium, dibakar pakai api tenaga gas, dan keluarga terima abu, kalau untuk yang datang ke rumah duka ya sekedar kasih makan ala kadarnya saja. Bisa ngga Nengah?
Nengah: Bisa, sekarang malah sedang gencar acara ngaben massal, jadinya mirip acara sunatan massal itu, irit dari segi biaya karena beramai-ramai.
Yang jadi korban dan stress ini kan yg kurang cerdas dan menuruti ego/gengsi seperti yang diungkapkan Yanz.
Kafirun: Ya mulai digalakkan saja campaign anti gengsi dikalangan masyarakat Bali.
Nengah: Oh iya, aku ngga selalu pakai kebaya baru ke pura, yang aku pakai kadang baju yang sudah ada, pemberian bibiku. aku ngga pakai/membuat kebaya dari bahan yg harganya mahal.
Agus: Di Bali ada tingkatan upacara nista, madya, utama. Kalau ngga mampu tapi mau pakai yang utama, ya bisa jadi jual tanah, itu namanya membodohi diri sendiri.
Mansu: Saya juga kalau Lebaran ngga beli baju baru, ngga mudik juga, kalau bikin ketupat masih.
Agus: Itu tergantung anda, atau pribadi masing-masing yang penting niat sembahyang.
Ajeng: Kalau aku sebagai orang Hindu Bali yang juga wanita pekerja dan suami juga bekerja yang paling bikin stres itu masalah waktu. Mana ipar laki-lakiku jauh dan ikut agama istri. Mau pulang kampung Denpasar - Singaraja 3 jam. Aku libur minggu aja. Di Bali jarang upacara (agama/adat) hari minggu, biasanya hari kerja. Sering ngga pulang malu karena suami satu-satunya anak pria di keluarga dia yang tinggal di Bali. Aku kerja di tourism industri, boleh libur kalau tamu pas sepi, kalau tamu ramai harus kerja, susah di pengaturan waktu.
Yanz: Adat itu hanya mengatur tata pelaksanaan sebuah prosesi, jadi ngga bisa seenaknya merubah sebuah adat yang sudah pakem kecuali ada perubahan awig-awig (aturan adat) sesuai perkembangan jaman. Dan kebanyakan yang menyebabkan stress itu bukan prosesi adatnya tapi embel-embelnya.
Kafirun: Embel-embelnya apa tuh? Seperti, berapa banyak babi yang harus dipotong ya?
Yanz: Kafirun: Babi guling salah satunya, yang kedua yang bling-bling tadi dan lain-lain.
Ajeng: Yang bikin miris kadang upacara adat pakai judi dan minum-minum minuman beralkohol sampai mabuk. Entah bagaimana cara berpikir orang-orang model begini ini aku ngga paham.
Pernah aku minta ijin sama boss aku yang juga owner perusahaan untuk ijin ada upacara Melasti (ke pantai menjelang hari raya Nyepi). Bos yang orang Hindu jawab, kalau kamu libur ngga usah kamu balik kerja lagi. Upacara itu ngga penting, lebih penting kamu kerja.
Kafirun: Kalau di Jepang, orang minta ijin mau bercinta sama istri malah dikasih ijin, mungkin 100-200 tahun lagi Bali akan seperti Jepang.
Yanz: Ajeng: Benarkah? Kalau orang Hindu Bali sangat menghargai upacara-upacara karena hubungannya dengan keyakinan akan karma.
Ajeng: Yanz that's true... itulah pengalamanku. Buat apa bohong ngga ada untungnya.. percaya atau ngga no problem.
Surya: Saya sudah biasa mendengar orang Bali menjual tanah atau berhutang untuk sebuah upacara, alhasil anak cucunya sebagian sekarang tinggal di perumahan karena tanah sudah habis di daerahnya, lama-lama seperti Betawi.
Kafirun: Anak cucunya punya rumah petak untuk di kontrakkan ngga, Surya? Kalau ngga, berarti ngga sama dengan Betawi.
Bisnis rentenir berarti potensi yang amat bagus disana.
Yanz: Surya: Wuahh...kok malah bisa beli rumah di perumahan? Perumahan mewah ya? Mepet sawah.
Surya: Perumahan RSS (Rumah Sangat Sederhana).
Made: Surya: Itulah yang perlu dikikis habis kebiasaan yang mengatas namakan jelek asananga. Kita sudah ada petunjuk sebenarnya untuk melaksanakan uapacara (Nista, Madya, Utama) itu bisa kita laksanakan tanpa mengedapankan gengsi semata, alias menyesuaikan dengan kemampuan.
Surya: Benar kata Nengah, banyak yang pindah agama, ngga apa-apa sih, itu semua hak setiap orang, mau pindah agama fine, mau keluar dari adat juga fine, cuma kadang masyarakat awam mendeskreditkan orang seperti itu, ya sudah ngga apa-apa juga.
Dodot: Menarik sekali perbincangan diatas, salut dan hormat pada pendapat masing masing individu. Dalam agama apapun selalu ada ritual, dan biasanya juga sering dikaitkan dengan adat. Bagi saya agama adalah panduan untuk hidup dalam "Kebaikan".
Dalam agama Katholik misalnya, ada acara sembahyangan 3, 7, 40, 100 hari, tetapi tidak harus menyediakan biaya atau sarana dan prasarana yang mewah. Tujuannya hanya men-do'a-kan arwah almarhum.
Kalau sudah terobsesi dengan biaya, dan harapan masuk surga atau nirwana, saya juga tidak bisa menjelaskan. Karena belum merasakan mati, dan saya lebih suka bicara untuk tetap hidup dan survive, dengan segara kondisi yang ada saya miliki.
Kafirun: Kalau saya meninggal duluan daripada ayah saya, otomatis ayah saya akan mengeluarkan duit untuk penguburan saya, maklum adat minded, tapi kalau ayah saya duluan meninggal daripada saya, sepertinya ngga ada pesta besar-besaran.
Agus: Dan pastinya, disinilah ketulusan kita diuji.
Wayan: Memang dilematis, kemarin tanteku waktu hidup sakit-sakitan tidak ada biaya untuk berobat sampai akhirnya meninggal. ketika mau ngaben dibutuhkan biaya belasan sampe puluhan juta. Hidup sudah susah, matipun lebih susah lagi.
Made: Wayan: Semua orang Bali dari golongan ekonomi lemah termasuk saya pernah mengalami dan merasakan hal yang sama manakala kita melaksanakan kewajiban upacara, terutama yang menyangkut pembiayaan. Tapi untuk pembiayaan ngaben saya rasa sudah ada program ngaben massal di tiap desa adat.
Leo: Saya sudah tahu bahwa yang dibutuhkan Bali adalah penyembuhan. Kita cuma bisa memberikan penyembuhan spiritual kalau sarasehan di Denpasar tahun depan (rencana: Februari 2012). Walaupun ada dokter-dokter di Komunitas Spiritual Indonesia, tetapi kita tidak fokus di penyembuhan medis. Kita fokus di penyembuhan sakit pikiran yang bisa muncul di tubuh fisik (psikosomatis).
Tetapi itu pun tidak bisa dilakukan massal. Paling cuma bisa diberikan satu persatu kepada yang konseling. Dan ditentukan oleh kesiapan orangnya juga. Kalau orangnya masih mau ngotot berpegang mati-matian kepada adat walaupun sudah remuk redam jiwanya, maka tidak ada yg bisa bantu. Kalau orangnya mau berubah, maka bisa konseling dengan banyak teman, para spiritualitas senior, yang pastilah mau menjadi sukarelawan (volunteer) penyembuhan spiritual ketika kita sarasehan di Denpasar nanti.
Di satu pihak, Bali memang toleran, tidak ada pengrusakan seperti di Jawa. Di pihak lain, Bali masih konservatif sekali. Adatnya begitu keras, apalagi bagi orang yang masih hidup di lingkungan aslinya. Susah dijelaskan memang, kalau tidak hidup sendiri di masyarakat Bali. Orang Bali suka jor-joran juga, saling adu gengsi. Kalau dilihat seperti kelakuan anak kecil. Tentu saja tidak apa asalkan tidak merugikan orang lain.
So, kembali lagi. Kita cuma bisa bantu kalau orang datang dan meminta bantuan. Saya rasa, saya akan ngomong apa adanya sekarang. Tidak mau lagi ikut-ikutan belief system tentang ada yang ngirim begini atau begitu. Terkadang, demi membantu penyembuhan orang, saya akan menyarankan untuk mengabaikan adat. Kalau ada adat yang membuat si manusia sakit, lebih baik tidak usah diikuti.
Khusus bagi Bali, tekanan adat yang lebih berat justru dialami oleh perempuan. Luh Ketut Suryani membantu penyembuhan orang-orang yang sakit gila di Bali. Tapi Luh Ketut masih hidup di lingkungan masyarakat Bali. Saya tidak. So, mungkin saya akan lebih bisa memberikan konseling yang membebaskan.
Di satu pihak, Bali adalah etnik yang paling tertib satu Indonesia. Disiplin sekali. Di pihak lain, kita semuanya sama, manusia yang hidup di tahun 2011 M. Kita tidak bisa lagi diperlakukan seperti nenek moyang kita memperlakukan sesama mereka. Kita bukan nenek moyang, kita bukan leluhur, kita manusia paska modern. Pendidikan yang kita terima sama seperti yang diterima orang Barat. Kita tahu bisa hidup apa adanya saja, bahkan tanpa agama dan adat. Kalau mau.
(Percakapan di Grup Spiritual Indonesia akhir Oktober 2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar