by Leonardo Rimba II on Saturday, January 28, 2012 at 11:41am
Ideologi Pancasila yg dikembangkan oleh Rejim Orde Baru penuh kata-kata palsu seperti "jati diri", dlsb. Di masa itu, Indonesia membanggakan diri sendiri sebagai bangsa yg paling tercerahkan di seluruh dunia. Pancasila disohorkan lebih baik dari kapitalis (Amerika Serikat) dan komunis (Uni Soviet). Pancasila anti Cina karena Cina adalah Setan. Dan Indonesia adalah Malaikat. Dan itulah sisi terjelek dari Kejawen. Suharto was Kejawen. Pancasila di-convert olehnya menjadi ideologi Kejawen. Ternyata itu cuma bisa bertahan sekian lama saja. Pelajaran: Penipuan diri sendiri dan orang lain yg marak di Kejawen cuma bisa bertahan kalau ada pemaksaan. Tanpa ada pemaksaan, semuanya akan terbongkar. Terbongkar dengan sendirinya.
So, yg terbongkar adalah kepalsuannya, rekayasanya, logikanya yg amburadul.
Contoh, di masa Pra Hindu, leluhur kita pakai rumbai-rumbai untuk menutupi vagina dan penisnya. Itukah budaya asli, jati diri, haha.. ??
Bisa juga dipertanyakan apakah Cina dan Eropa lebih berbudaya dibandingkan Nusantara? Saya jawab: Cina dan Eropa sudah punya peradaban tertulis selama ribuan tahun. Ada kisah-kisah yg bisa dikoroborasikan (dicek kebenarannya). Kalau Jawa, sumber-sumber tertulisnya terbatas sekali. Dan boleh bilang semuanya sastra keraton, pesanan para raja. Memuja-muji diri sendiri, dan merendah-rendahkan orang lain. Itu gaya Kejawen, gaya Suharto, gaya Indonesia di masa Orde Baru.
Sifat umum Kejawen di masa Kolonial, masa Orde Lama, masa Orde Baru dan, mungkin, sampai saat ini juga sama saja, yaitu selalu membanggakan diri sendiri, dan menganggap orang lain (budaya lain) lebih rendah. Itu pengamatan biasa saja, selama bertahun-tahun sejak saya lulus P4 (Pedoman Pengamalan dan Penghayatan Pancasila) Pola 100 jam ketika baru masuk UI.
Pada pihak lain, bahkan Kejawen juga ber-evolusi. Ada perubahan, walaupun bergeraknya lambaaannn... sekali. Kita tidak bisa bilang bahwa tidak ada perubahan sama sekali. Perubahan ada. Tetapi umumnya masih tidak terlihat. Sebagian besar masih mempertahankan sikap superioritas etnik, menganggap segala yg berasal dari luar sebagai asing dan, biasanya, dianggap berderajat lebih rendah. Pedahal, semua yg ada di di Nusantara berasal dari luar. Bahkan leluhur kita juga import. Import dari India, Cina, Eropa. Tetapi Kejawen totok tidak mengakui itu. Kalau sudah dianggap "asli" (dalam tanda kutip), maka diskusi ditutup. Dianggap luhur.
Dan Kejawen suka memaksa. Memaksanya bukan dengan kekerasan, tetapi secara verbal. Makanya orang Kejawen kebanyakan tidak bisa jadi intelektual. Otaknya terbatas, berputar disitu-situ saja. Tidak terbiasa berpikir kritis. Bisanya berpikir mbulet. Mbulet karena dibulet-buletken.
Saya mendukung Kejawen yg individual. Setiap orang berhak mengembangkan pemikirannya sendiri, penghayatannya sendiri. Itu boleh, dan tidak pantas ditekan-tekan. Jangan ditekan.
Saya bahkan memperoleh penglihatan di dalam mimpi bahwa Kejawen itu Kristen. Ini aneh, simbol yg muncul ternyata Kristen. Dan mungkin saja benar. Tetapi Kristen juga tidak langsung jadi. Sudah berevolusi selama 2,000 tahun. Makin lama makin oke.
Kita bisa mulai mendiskusikan Kejawen. Masih banyak yg masih bisa diselamatkan. Intinya bagus, saya tahu itu. Yg tidak bagus kita buang, seperti kebiasaan rekayasa dan cocologi. Yg bagus, seperti spiritualitas ikhlas dan pasrah. Tawakkal (bahasa arab, bahasa arab) bisa dipakai terus. Logika bisa ditambahkan, things like that.
Saya lihat, memang Kejawen juga plural. Makanya saya membuat generalisasi dari semuanya. Generalisasi itu cuma kesimpulan umum. Untuk membahas segalanya harus kembali lagi ke yg spesifik. Kalau sudah spesifik, tidak bisa generalisasi lagi. Penelitian budaya Jawa harusnya berjalan terus. Saya sendiri melihat banyak unsur Cina di budaya Jawa. Sikap membanggakan budaya sendiri dan anti asing di kalangan priyayi Jawa merupakan sikap Cina. Asli itu Cina. Dan mungkin masuk ke budaya Jawa lewat leluhur Jawa yg Cina. Di kalangan Jawa kelas bawah tidak ada sikap superioritas etnik itu. So? Mungkin perlu dites DNA untuk lihat bahwa priyayi Jawa memang keturunan Cina. Sikapnya mirip sekali. Bangsa yg paling membanggakan superioritas etniknya adalah Cina. Sekaligus suka merendahkan bangsa-bangsa lain.
Nah, Jawa yg di pinggiran kok bisa punya sikap yg sama seperti itu? Kalau Cina begitu kita bisa maklum. Nah, Jawa? Di pinggiran kok begitu sombong? Hipotesa saya, priyayi Jawa adalah keturunan Cina. Dan itu bisa dites lewat DNA. Jadi, sikap superioritas etnik dan suka merendahkan budaya lain memang mengalir di dalam darah. Cepat atau lambat mungkin akan ada peneliti yg mau pegang kasus itu. Tanpa tes DNA, kita cuma akan bisa menyimpulkan dari kisah-kisah saja. Seperti Sabdo Palon oleh Damar Shashangka, dlsb. Saya sendiri cenderung berpendapat, bahwa memang benar priyayi Jawa keturunan dari Cina. Sikapnya itu lho. Sikap Cino.. Cino.. Di etnik-etnik Nusantara lainnya tidak ada sikap seperti itu.
Kejawen yg umum adalah sikap ikhlas dan pasrah, dan itu ada dimana-mana, di semua budaya beradab. Kita tidak bisa bilang itu unik Kejawen atau spiritualitas Jawa. Yg unik adalah sikap yg cenderung mengagungkan budaya sendiri, dan takut atau merendahkan terhadap budaya luar. Pedahal boleh bilang semuanya di budaya Jawa berasal dari luar. Aslinya leluhur kita cuma pakai rumbai rumbai.
Essensi dari Kejawen bisa ditanyakan kepada setiap orang yg mengaku sebagai praktisinya. Dan setiap orang berhak untuk memberikan definisi masing-masing. Kalau anda ngotot bahwa definisi anda sendirilah yg benar, itu merupakan bukti bahwa anda penganut Kejawen totok. Kejawen yg kemaruk juga ada, yaitu suka menekan orang. Saya tidak suka menekan orang, dan tidak juga suka ditekan. Kalau anda mau tekan orang, silahkan cari korban lain.
-
Mungkin cuma saya disini yg pernah ikut Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) Pola 100 jam. Itu wajib waktu saya baru masuk UI di tahun 1983. Seingat saya, 100 jam itu dalam waktu dua minggu. Kurang lebih seperti itu. Walaupun rasanya muak, tapi saya belajar. Saya lihat, ternyata kemunafikan itu bisa dipaksakan. Bisa dan benar-benar dipaksakan. Tanpa tahu malu bahkan terhadap anak-anak yg baru lulus SMA. Pelajaran yg sangat berharga bagi saya. Saya tidak menyesal ikut P4 Pola 100 jam. Kalau saya tidak pernah ikut itu, saya tidak akan tahu seperti apa yg namanya indoktrinasi ideologis. Biasanya dipraktekkan di negara-negara komunis. Dan dipraktekkan di Indonesia juga, di masa Suharto. P4 itu indoktrinasi ideologi ala komunis. Sistem cuci otak. Pemaksaan pendapat. Segala macam yg tidak masuk akal disodorkan supaya diterima. Wajib diterima supaya bisa lulus, subhanalloh.
Saya di UI ambil jurusan Ilmu Politik. Banyak buku-buku berharga di jurusan saya masuk daftar buku terlarang. Terlarang oleh Kejaksaan Agung demi pelestarian Pancasila. Dan itu saya ucapkan apa adanya di depan Makhfud MD waktu saya jadi saksi korban dalam kasus gugatan UU Pelarangan Buku. So, tentang ideologi Pancasila, sebenarnya saya bisa juga tulis secara ilmiah, tapi saya tahu tidak ada yg baca. Kalau saya pakai gaya ngeyel ala Yogya, banyak yg baca. Kalau banyak yg baca, dan tergelitik untuk ikut berpikir juga, maka tujuannya sudah tercapai. Buku-buku saya isinya seperti itu, cuma mengajak berpikir. Apa yg dipikir tentu saja bebas, tidak dibatasi. Saya tidak mengajak orang ber-ideologi. Cukup berpikir waras saja.
Kita yg masuk UI penatarannya paling ketat karena pemerintah tahu bahwa UI ada di garis depan, harus bisa dipegang tititnya. So, yg diturunkan untuk mengamati the penataran secara langsung adalah orang-orang intel. So, para intel ini duduk di depan, membaca pertanyaan-pertanyaan yg diajukan secara tertulis oleh para peserta mahasiswa/i baru. Lalu mereka menuliskan jawaban yg "tepat". Harus tepat karena ini program indoktrinasi. Cuci otax.. cuci otax..
Karena saya punya pengalaman ikut Penataran P4 Pola 100 jam, makanya saya tidak kaget lagi menemukan cocologi. Sudah biasa dari dulu ketemu yg seperti itu. Penataran Pancasila itu isinya cocologi. Dicocok-cocokkan, tapi tetap saja tidak cocok.
So, saya harap teman-teman bisa melihat bahwa Pancasila cuma slogan thok. Bisa disetir kesana kemari. Kita tidak perlu membanggakan slogan. Yg penting buktinya apa. Kalau jelek, bilanglah jelek. Dan, sampai saat ini, bukti memperlihatkan bahwa para praktisi Pancasila kelakuannya jelek. Very jelek.
Ini pembahasan sejarah juga, berbagi pengalaman pribadi. Menurut saya, puncak kedegilan Pancasila itu di pertengahan tahun 1980-an, ketika gencar-gencarnya dilakukan P4. Pembahasan bukan lagi pada hal yg praktis-praktis dan bermanfaat, tetapi sudah melantur menjadi cocologi. Mengagung-agungkan budaya luhur, dlsb. Itu yg saya maksud dengan "Kejawen" di dalam Ideologi Pancasila. Marak sekali. Isinya bukan intelektualitas, tetapi cocologi. Saya bisa bilang itu cocologi, karena saya ikut sendiri. Bukan karena saya mau, tetapi wajib. Semua mahasiswa/i UI angkatan saya harus ikut itu penataran. Kalau saya mau tulis pengalaman saya saat itu, maka kurang lebih seperti ini saja. Saya tidak bisa lagi lebih detil, tidak bakat menjelek-jelekkan orang lain.
Karena pengalaman pribadi ini, maka saya selalu skeptis terhadap mereka yg mengagungkan Pancasila. Saya tahu sendiri seperti apa jadinya kalau Pancasila diagungkan. Kalau dibenturkan dengan pemikiran seperti Liberalisme dan Sosialisme, maka Pancasila akan hancur berkeping-keping. Jadinya klenik. Kejawennya keluar semua. Ujung-ujungnya puja puji kepada leluhur.
Kalau kita tidak mengerti sejarah, kita mungkin harus mengulanginya lagi.
So, silahkan baca kembali tulisan saya ini, yg sama sekali tidak menyalahkan Kejawen. Kejawen itu cara hidup, cara memandang lingkungan dan diri sendiri. Sah saja. Dan saya lihat, Kejawen berperan besar menjadi isi dari Ideologi Pancasila di Era Suharto. Cuma itu saja intinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar