30 Jan 2010

Mengapa Kita Memerlukan Sebuah Sistem Dunia Baru?

Mengapa Kita Memerlukan Sebuah Sistem Dunia Baru?

Wednesday, 13 January 2010 at 20:41
Uploaded via Facebook Mobile
Mengapa Kita Memerlukan Sebuah Sistem Dunia Baru?

Oleh: Wandy Binyo Tuturoong


1. Sistem ekonomi global saat ini sangat bertumpu pada pertumbuhan (yang secara agregat dinilai berdasarkan Produk Domestik Bruto).

2. Selama ini, pertumbuhan tersebut dimungkinkan karena ekspansi kredit atau utang (sebagai catatan, utang tersebut tentu memiliki bunga yang harus dibayarkan di masa depan), selain karena mengandalkan persediaan sumber daya alam.

3. Utang tersebut hanya mungkin terbayar dengan syarat pertumbuhan ekonomi terus terjadi di masa depan (jika pertumbuhan ekonomi negatif, bukan saja terjadi kerugian bagi pelaku ekonomi, tapi juga pasti terjadi gagal bayar utang secara massif atau "default").

4. Masalahnya adalah, sumber daya alam, khususnya energi dan bahan baku industri, sebagai penopang pertumbuhan ekonomi tadi TIDAK MUNGKIN bertumbuh terus tanpa batas.

5. Dengan kata lain, Bumi ini memiliki keterbatasan, apalagi jika pertumbuhan penduduk bumi bergerak sangat cepat melebihi ketersediaan sumber daya alam. Pada suatu titik, pertumbuhan terus-menerus ini akan mengalami tren PEMBALIKAN ARAH dan mengalami kerusakan fatal.

6. Bila tren pertumbuhan sudah terlihat akan berbalik arah, maka otomatis ekspansi kredit pun akan menurun drastis bahkan terhenti (tak ada yang mau memberikan kredit jika tahu bahwa kemungkinan besar kredit tersebut akan gagal bayar).

7. Konsekuensi awalnya, harga-harga akan melonjak sangat tinggi karena terbatasnya penawaran (supply).

8. Setelah itu, daya beli akan menurun yang berakibat pada penurunan permintaan (demand) secara drastis.

9. Skenario berikutnya adalah kegagalan sistem secara PERMANEN...

10. Meskipun demikian, terdapat sejumlah variasi yang bisa menunda akhir dari skenario sistem yang sekarang ini.

11. Misalnya yang terjadi di AS, tahun 1970-an, ketika produksi minyak AS mencapai puncaknya. Yang mereka lakukan adalah mendorong konsumsi masyarakatnya sebesar-besarnya dengan memberikan utang secara massif (khususnya kartu kredit dan kredit rumah).

12. Namun ada saatnya, pertumbuhan utang konsumsi itu pun akan mengalami puncaknya bila dibiarkan terus berekspansi (yang ditandai dengan makin banyaknya warga NINJA, "no income-no job-no asset" yang boleh mengkredit rumah). Pada akhirnya, skenario ini akan meledak juga (kasus "sub-prime mortgage" di AS).

13. Akhirnya, negara yang akan menalangi utang-utang tersebut, yang menyebabkan rasio utang terhadap PDB di AS sudah sebesar 90% (USD12 trilyun lebih). Yang secara matematis, sudah tak mungkin terbayarkan.

14. Skenario lain yang bisa menunda (juga sudah terjadi di AS) adalah memindahkan investasi ke sektor finansial (saham, mata uang dsb.). Namun, "bubble" yang direkayasa dalam pasar finansial toh tak mungkin bisa bertahan lama tanpa adanya aset riil sebagai penopangnya. Dalam kasus AS, "sub-prime mortgage" para NINJA bahkan sudah dijadikan penopang (underlying asset). Akhirnya, runtuh juga dan kembali negara yang jadi penyelamat.

15. Selama ini, jalan keluar sementara yang diambil selalu adalah memberikan beban utang lebih besar pada negara. Namun, sampai kapankah negara bisa menanggung utang tersebut (mengingat sumber daya alam serta ekspansi kredit akan makin sulit diandalkan ke depannya)? Bukankah dibutuhkan "pertumbuhan ekonomi" yang harus terus positif agar utang tersebut terbayarkan?

16. Saya hanya membayangkan 2 skenario: Pertama, biarkan sistem ini runtuh dan kita mulai dari nol lagi...

17. Kedua, kita secara massif beralih pada "green economy" (meskipun waktu kita sudah sangat terbatas dan kita menghadapi fakta sulitnya mengharapkan negara-negara kapitalis besar untuk meninggalkan sistem yang sudah sangat dinikmatinya ini).

18. Di luar kedua skenario itu, kita perlu merenungkan kembali "akar" dari sistem ekonomi ekspansif yang sudah pasti tidak "sustainable" ini: Akarnya adalah sistem mata uang dunia saat ini yang memberi insentif pada semua orang untuk melakukan "akumulasi kapital" atau ekspansi.

19. Konsumsi sumber daya alam secara membabi buta selama ini, sesungguhnya, cuma memiliki satu tujuan utama: Akumulasi kapital, dalam bentuk UANG.

20. Coba seandainya, akumulasi terhadap uang dikenakan disinsentif, misalnya uang "tak boleh dibungakan". Sebaliknya, mereka yang memegang atau mengakumulasi uang justru dikenakan biaya atau "cost" (dikenal sebagai "demurrage" atau "negative-interest")...

21. Maka yang akan terjadi adalah, uang akan terus bersirkulasi dengan lancar. Bahkan berpeluang untuk terdistribusi secara adil. Ketimbang "mengakumulasi UANG", manusia akan cenderung menjaga lingkungannya supaya bisa terus memberikan "KEHIDUPAN dalam jangka panjang".

22. Misalnya, ketimbang menggunduli hutan untuk dijual kayunya (dapt uang dengan cepat, lalu kehilangan sumber daya alam), lebih baik memelihara berbagai jenis tanaman karena buahnya bisa dikonsumsi secara terus-menerus (kehidupan yang lebih baik untuk generasi mendatang).

23. Di sini, kekayaan manusia tidak lagi diukur berdasarkan seberapa besar uang yang dimilikinya. Tetapi, seberapa baik ia menjaga dan berhubungan secara saling menguntungkan dengan ekosistem lingkungannya sendiri.

24. Mungkin, itulah yang dipikirkan seorang jenius bernama Muhammad ketika di abad ke-7 Masehi ia mengharamkan riba. Mungkin ia tahu persis bahwa kejatuhan peradaban Mesir Kuno terjadi ketika mereka meninggalkan "demurrage currency" dan mulai beralih ke sistem uang dengan bunga.

Wallahu'alam bissawab...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar