28 Jan 2010

Isak Tangis Semar

Sindunata :

Mangka darajating praja/ kawuryan wus sunya ri/ rurah pangrehing ukara/ karana tanpa palupi/ atilar silastuti/ sujana sarjana kelu/ kalulun kalatidha/ tidhem tandhaning dumadi/ ardyanengrat dene karoban rubeda.

Secuplik tembang Sinom di atas adalah petikan dari ramalan Serat Kalatidha karya Pujangga Ranggawarsita. Rasa-rasanya ramalan itu sedang menjadi kenyataan kita sekarang. Sebab sekarang kita berada dalam keadaan yang serba repot dan tak menentu. Nyaris tak ada tokoh yang patut dijadikan panutan. Kata-kata para tokoh simpang siur, penuh dengan janji kosong dan kebohongan. Sedikit pun tiada lagi rasa malu jika mereka melanggar aturan dan cita-cita kemasyarakatan. Para cerdik cendikia pun ikut tergulung arus zaman edan.

Dalam kacamata Serat Kalatida, keadaan serba repot itu tidak melulu dimengerti sebagai situasi zaman, tetapi sebagai kutukan zaman. Karena kutukan itu, segala niat yang luhur urung menjadi realitas. Dan pemimpin yang berniat mulia pun diselimpung oleh zaman dan menjadi ikut edan. Dengan kata lain, situasi repot ini bukan sekedar akibat dari ulah manusia yang tercela, tapi lebih-lebih adalah ekspresi dari kekuatan jahat yang sedang unjuk gigi. Kekuatan jahat itu tersembunyi, tapi terus beroperasi, membujuk dan menyeret manusia jatuh dalam kejahatannya.

Jelas keadaan demikian tak bisa diatasi dengan politik. Sebab akar permasalahannya bukan situasi sosial dan politik, tapi keruwetan batin manusia sendiri. Menurut tradisi Jawa, inilah saatnya kita harus menjadi seperti Semar. Sebab, seperti diyakini dalam kejawen, Semar iku asale saka basa samar, kang tegese ora samar ing umbak-umbuling lan wolak-walike jaman (Semar itu berasal dari samar, yang maksudnya tidak samar terhadap naik turun dan berubah-ubahnya zaman).

Memang Semar itu samar dari luar, tak jelas siapa dia, lelaki atau perempuan. Tapi dalam dirinya, ia menyimapan kejelasan manusia yang terdalam, yakni rasa eling lan waspada. Semar adalah kesadaran ilahi yang mengejawantah menjadi rasa eling yang manusiawi. Namun pada Semar, rasa eling manusiawi itu bukanlah kesadaran yang serba abstrak. Pada Semar, rasa eling itu menjadi konkret, yakni menjadi manusia dalam derajatnya yang terbawah: menjadi rakyat biasa.

Itu tidak berarti bahwa rakyat mempunyai kesadaran yang sempurna tentang segala-galanya. Tidak, justru sebaliknya, keadaan lahiriah mereka yang serba tidak sempurna adalah rasa, yang selalu meng-eling-kan mereka yang merasa diri sempurna, entah dalam pemikirannya entah dalam harta materialnya. Persis seperti Semar, yang terbilang buruk rupa karena dirinya hanyalah hamba, selalu meng-eling-kan bendara-nya, tuannya yang gagah, tampan, kaya dan berkuasa. Jadi rasa eling yang ada pada rakyat itu dengan demikian bersifat sosial, atau lebih tepat bersifat sosial-kritis.

Karena itu menurut filsafat Semar, jika rakyat masih miskin, maka mereka yang kaya harus eling bahwa kekayaan mereka tidaklah dibangun pada fundamen yang benar, karenanya juga akan mudah roboh dan sia-sia. Jika rakyat masih menderita karena ketidakadilan, maka mereka yang berleha-leha dengan harta berlimpah adalah penghina dan penista derajat manusia. Jika hak-hak rakyat masih tertindas, maka para penguasa sesungguhnya hanyalah tiran yang kejam, betapapun mereka mengaku sebagai pemimpin yang baik dan utama.

Begitulah dengan di-dunung-i, atau dihuni oleh Semar, rakyat mentransendir keadaan dirinya, dan menjadi potensi yang menentang ketidakadilan, ketimpangan, dan kekuasaan yang sewenang-wenang. Rakyat lalu kembali menjadi bagian dari sejarah dan menentukan sejarah. Lebih dari itu mereka juga menjadi bagian dari kekuasaan, dan menjadikan kekuasaan bukan lagi melulu sebagai otoritas yang steril, tapi otoritas yang berhati, yang mampu menjalin manusia satu sama lain, dan lebih-lebih mampu merangkul mereka yang selama ini tersingkir dan terpinggirkan. Ya, bersama Semar, rakyat menjadi kekuatan yang akan memaksa kekuasaan untuk eling.

Menjadi Semar tidaklah mudah. Untuk menjadi Semar, penguasa harusberani nyuwungke atau memgosongkan diri dari segala nafsunya. Dalam bahasa kejawen, ia harus menempuh marga sunya untuk menuju sampurna. Dan pada Semar, jalan sunya atau pengosongan diri itu tidak ditempuh dengan menyepi atau samadi, tapi dengan menjadi kawula. Maka penguasa yang ingin nyemar, menjadi Semar, tanpa berani merakyat, dan merasakan betul pahit dan susahnya penderitaan rakyat, ia hanya akan menemui kegagalan belaka.

Memang Semar itu nyata, senyata penderitaan rakyat. Karena itu, Semar tetap samar, jika ia hanya digembar-gemborkan sebagai visi politik yang pro-ekonomi kerakyatan dan antineoliberalisme. Maka, jangan mencari Semar dalam diri para pemimpin yang sedang mengobral janji. Semar tak usah dicari, ia sedang berada misalnya dalam isak tangis Sumariah, pedagang bakso, yang kehilangan anaknya tercinta, Siti Khoiyaroh (4 tahun) yang mati tersiram kuah bakso dan bara arang, saat hendak menyelamatkan diri diri dari kebrutalan Satpol PP kota Surabaya. Dalam penderitaan dan jeritan rakyat semacam itulah Semar berada, bukan dalam pidato-pidato calon presiden kita.

Kompas, 7 Juni 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar