8 Apr 2012

Di Manakah Tuhan?

Ketika bencana menimpa tiba-tiba, tanpa diduga, tanpa diharapkan, bahkan tanpa terpikirkan sama sekali, dimanakah Tuhan?
Pertanyaan “Di manakah Tuhan ketika bencana menimpa?” bukan hanya datang akhir-akhir ini saja. Di setiap kebudayaan, setiap masa kehidupan manusia, pertanyaan itu selalu hadir tepat saat bencana datang. Di manakah Tuhan? Mengapa harus saya yang menanggung bencana ini, Tuhan? Apakah Tuhan ada?
Ketika setengah juta orang Aceh tersapu badai tsunami, di manakah Tuhan? Ketika ribuan orang Yogyakarta mati tertimpa reruntuhan rumah mereka sendiri saat gempa bumi terjadi, di manakah Tuhan?
Tidakkah saya sudah berbakti kepada Tuhan? Tidakkah saya sudah membayar sedekah? Tidakkah zakat fitrah dan segala utang saya kepada fakir miskin yang sudah diwajibkan oleh Tuhan telah saya bayar dengan sempurna?
Tapi di manakah Tuhan? Di manakah Tuhan yang saya sembah? Di manakah Tuhan yang saya percayai?
Jawaban yang paling mendekati kebenaran mungkin hanya bisa diberikan oleh Nabi Ayub. Ayub adalah seorang yang sangat taat beribadah, dan menerima segala berkat dari Tuhan. Tapi setan datang ke hadapan Tuhan dan meminta izin untuk mendatangkan segala bala itu. Apabila Ayub bisa tergoda dan mengutuk Tuhan, maka menanglah setan, begitulah perjanjiannya. Dan karena Ayub adalah yang paling bertakwa di antara manusia di zamannya, maka berarti tak akan ada lagi makhluk berupa manusia di dunia yang bisa menyembah Tuhan dengan ikhlas dan pasrah, apa pun yang diterimanya.
Dan Tuhan mengizinkan. Sekali lagi saya tulis, Tuhan mengizinkan. Tuhan mengizinkan setan untuk mendatangkan segala bala bencana bagi Ayub, seorang manusia yang sangat bertakwa dan dicintai Tuhan. Tetapi, Tuhan apa itu yang mengizinkan bencana datang bagi umatnya?
Tuhan adalah Tuhan, dan dalam kitab suci dituliskan bahwa Tuhan 'mengizinkan' setan untuk mendatangkan bencana bagi Ayub. Hal ini bisa menjadi simbol bahwa bencana bisa terjadi di mana saja dan kapan saja. Dan tidak ada perbedaan antara umat Tuhan dan umat setan. Tuhan mengizinkan.
Maka runtuhlah segala harta kekayaan dan keluarga Ayub. Ribuan ternaknya habis. Anak-anaknya mati tertimpa bangunan tempat mereka berpesta. Ayub sendiri terserang penyakit kulit yang tak tersembuhkan. Dia gatal-gatal, sehingga dia menggaruk kulitnya sendiri sampai tinggal tulang, tetapi tidak mati.
Sebagaimana layaknya manusia beradab, berdatanganlah sahabat-sahabat Ayub untuk menengok dan menghiburnya. Seorang sahabat berusaha menghibur dengan mengingatkan Ayub akan dosa-dosanya. “Hmmm, tidak ada itu,” kata Ayub. Sahabat yang lain mencoba menghibur dengan satu dan lain cara. Semuanya memberikan pengertian-pengertian yang tak satu pun diterima oleh Ayub.
Pertanyaan asal tetap ada: “Mengapa harus saya, Tuhan?”
Dan Tuhan pun diam membisu, walaupun di langit antah-berantah komunikasi antara setan dan Tuhan tetap berlangsung. Begitulah yang terekam di kitab suci. Setan tertawa-tawa dan Tuhan tetap menjawabnya tanpa ekspresi.
“Wah, ternyata si Ayub masih bertahan,” kata setan. “Ternyata dia masih percaya pada-Mu, Tuhan, walaupun bencana menimpa.” Tuhan tetap diam tanpa ekspresi.
Dan itu berlangsung sampai Ayub ditinggal seorang diri. Duduk di bawah pohon kering kerontang di tengah padang pasir. Harta tidak lagi dia punya, sanak saudara juga tidak. Sahabat semuanya sudah bergiliran membesuknya. Tubuhnya yang penuh bisul bernanah membuatnya dipersonanongratakan, orang yang tak diinginkan. Tak ada yang mendekat, tak ada yang menghiraukan.
Kitab suci mencatat bahwa tidak ada malaikat yang datang menghibur Ayub. Tidak ada keajaiban apa pun selain hal-hal biasa yang pasti terjadi ketika seorang kaya raya yang penuh berkat tertimpa malapetaka sehingga miskin papa.
Setelah semuanya meninggalkannya, orang saleh yang bertakwa itu mulai menumpahkan segala keluh-kesahnya ke hadapan Tuhan. Nah, ternyata tidak kebal juga dia. Memang bukan kutukan terhadap nama Tuhan, tetapi keluh-kesah. Komplain. “Mengapa harus saya, Tuhan?”
Dan Ayub mendasarkan keluh-kesahnya atas kebenaran yang ada di dirinya. Atas segala baktinya terhadap Tuhan maupun sesama. Mengapa semua itu tidak dihitung oleh Tuhan? Mengapa Tuhan mengizinkan segala bencana datang terhadap orang yang paling bertakwa? Apakah Tuhan kekurangan orang zalim sebagai sasaran bencana? Dan... mengapa setan bisa memperoleh audiensi di hadapan Tuhan, sedangkan ia harus menjadi taruhan tentang kesanggupan bertahan ketika bencana datang?
Tuhan tetap diam.
Kitab suci hanya menuliskan bahwa semua baru berakhir ketika Ayub menyadari bahwa segala kebenaran dan baktinya itu ternyata tidak berarti apa-apa. Tuhan adalah Tuhan. Dia akan melakukan apa yang Dia inginkan.
Tidak ada yang namanya ritual menyogok Tuhan dengan ibadah dan amal jariah. Semua kembali kepada Tuhan. Apa yang ingin Tuhan lakukan, itulah yang dilakukan-Nya. Segala kebenaran manusia yang dipupuk melalui amal ibadah tidak menjadi hitungan.
Ketika hal itu disadarinya, barulah Ayub tersedu-sedu. Ayub menangis dan melaburkan segala abu serta pasir kering ke seluruh wajahnya. Dia minta ampun karena mencoba menilai Tuhan dengan perangkat manusia. Kriteria manusia ternyata tidak berlaku.
Tak banyak yang tertulis di kitab suci setelah episode itu selain bahwa Ayub akhirnya sembuh dari penyakit kudisnya dan memperoleh kembali dua kali lipat dari segala harta benda yang pernah dimilikinya.
Hanya itu.

(Leonardo Rimba, Pelangiku Warna Ungu, Penerbit Dolphin, 2012)

1 komentar: