Zaman ketika nilai-nilai kerohanian dianggap sebagai hal yang bertolak belakang dengan daya tarik fisik atau sensualitas sudah lewat, walaupun masih banyak anggota masyarakat yang rancu dan menganggap bahwa kerohanian berarti antidaya tarik fisik dan sensualitas adalah kerohanian yang tumpul.
Dulu yang dipentingkan adalah kebersihan tubuh, tok. Itu dianggap sebagai simbol kebersihan jiwa. Sekarang, kebersihan tubuh harus sepadan dengan daya tarik seksual si pemilik tubuh supaya memenuhi syarat menjadi seorang spiritual yang utuh. Orang yang mendalami spiritualitas dan mengubur habis daya tarik seksualnya adalah mereka yang hidup di Arabia pada abad ke-7 M.
Seribu empat ratus tahun kemudian, di abad ke-21 ini, orang yang mendalami spiritualitas adalah yang bisa menjaga dan memancarkan seksualitasnya ke segala arah. Bukan demi perzinahan, seperti yang dikuatirkan oleh orang-orang Arab pada 1.400 tahun yang lalu, tapi demi menjaga citra diri yang sehat.Kalaupun ada perzinahan, itu adalah tanggung jawab si pemilik tubuh, dan bukan lagi urusan komunitasnya seperti di masa lalu.
Dulu, orang yang ganteng dan cantik sengaja dibikin jelek agar dihormati sebagai orang spiritual. Sekarang, orang yang aslinya jelek bisa dibikin ganteng dan cantik. Semakin berhasil perubahan fisik diusahakan, berarti semakin mantap citra diri positif yang berhasil diupayakan.
Tidak ada lagi gunanya di masa pascamodern ini menggebuk dan mengubur habis segala keindahan tubuh yang dikaruniakan oleh YME kepada kita. Tak ada gunanya lagi eksistensi orang-orang yang saat ini masih rancu mengutuk habis mereka yang menonjolkan sensualitas tubuh. Wong urusan spiritualitas adalah urusan dhewe-dhewe…. Dan segala “gerakan mundur” yang mau mengubur keindahan tubuh adalah kelompok penyimpang yang asli. Penyimpangan jiwa.
(Leonardo Rimba, Pelangiku Warna Ungu)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar