4 Feb 2010

Peta Menuju Surga

Sang Pangeran Tampan (9): Peta Menuju Surga
Oleh Rangga L Tobing






Di tengah hutan, sang pangeran tampan ditemani oleh seorang pengawalnya, sedang mencari tanaman yang akan digunakan untuk obat istrinya. Terkadang pengawal itu ingin bertanya kepada sang pangeran, mengapa ia ingin mencari sendiri obat itu, padahal ia bisa meminta para prajurit untuk melakukannya. Namun ia memutuskan untuk tidak mempertanyakannya ia tahu pangeran melakukan sesuatu pasti dengan maksud dan tujuan tertentu..




--
“Saya punya cerita” kata sang pangeran kepada pengawalnya, mereka sambil berjalan menelusuri semak belukar, “dahulu ada seorang pemuda mendapatkan sebuah peta menuju surga, yang diwariskan oleh ayahnya, ketika akan meninggal. Ia begitu senang mendapatnya. Ia sangat yakin bahwa peta yang berada di tangannya akan mengantarkannya ke surga, setidaknya itu yang kerap dibicarakan oleh ayahnya dulu. Namun berbeda dengan adiknya. Ketika ia mengajak sang adik untuk melakukan perjalanan menuju surga sesuai dengan apa yang telah dipetakan, sang adik malah menolaknya, ia memilih untuk tidak mengikui rute pada peta itu. Mendengar penolakan adiknya, sang kakak marah. Sang kakak mengatakan adiknya telah tersesat, selamanya akan mengalami kesengsaraan hidup.



Dengan berpedoman sebuah peta berada di tangannya, sang kakak terus berlari tanpa perduli dengan apa yang berada di sekitarnya. Ia ingin segera mencapai puncak gunung tinggi seperti pada peta itu, sebab menurut ayahnya dulu, di sanalah ia menemukan surga. Tanpa banyak berpikir ia melesat dengan cepat mengikuti petunjuk-petunjuk yang ada di peta. Di luar dugaan hanya dalam waktu beberapa bulan ia berhasil mencapai puncak gunung, bahkan lebih cepat dari sang ayah yang memerlukan waktu puluhan tahun lebih lama. Ia begitu bahagia dan berteriak, “aku berhasil menemukannya!!” seraya tertawa lepas



Perlahan, ia pun berhenti tertawa. Terlihat kerutan di keningnya yang jatuh melalui butiran air menetes dari bola mata. Terbesit menyesalan yang mendalam. “Tidak!” ia menyadarinya. Ia tidak berhasil menemukan surga itu. Gunung itu kosong. Tidak ada kebahagian di sana, tidak seperti yang kerap dikatakan ayahnya dulu. Ia begitu menyesal. Ia hanya bisa menangis. Tak mungkin ia turun kembali, dan mengatakan kepada adiknya bahwa ia tak menemukan apapun di atas gunung ini. Itu sungguh memalukan! Akhirnya ia memilih untuk tetap berada di sana.




--
... Suatu ketika di pagi hari sang pemuda pencari surga itu terbangun dari tidurnya. Ia melihat sosok pria tua tersenyum anggun kepadanya. Sang pemuda itu sontak berteriak

“surga!”
“surga!”
“surga!”



Pria tua di hadapannya itu membelai lembut tumpukan rambut putih yang bersarang di kepalanya. Aku bukan surga, aku adalah adikmu. Sudah puluhan tahun aku mencarimu dari satu gunung ke gunung yang lain, sebab aku tidak memiliki peta. Lihatlah sekarang rambut kita telah memutih



“Tentu saja aku masih ingat” kata sang kakak, “di mana kau menemukan surga itu? Aku melihat kebahagian itu di wajahmu, seperti wajah ayah. Kau telah menemukannya. Tolong katakan di mana kau menemukan surga itu, sebelum tubuh rentaku ini kaku selama-lamanya”



Surga itu ada di sepanjang jalan pengertian kehidupan yang kita peroleh. Seperti perjalanan ayah mencapai puncak gunung ini. Ketika ayah berada di lembah bawah sana, ia mendapat pengertian dari kicauan burung yang merona di antara embun-embun pagi. Ketika ia berada di dalam hutan, ia juga mendapatkan pengertian dari pohon-pohon yang menjulang tinggi, merengkuh keteduhan di kala terik sang mentari, begitupun saat angin datang berhembus dengan lembut, suara gemercik air di antara sela-sela bebatuan, melihat ikan-ikan yang menggeliat menari indah di bawah air, dia pun mendapatkan pengertian dari semua itu.



Hingga ia berdiri di atas puncak gunung ini. Ia memandang ribuan pepohonan yang berderet di bawah sana. Ia merasakan udara sepoi berhembus membisik ke telinganya, ia mendengar gemercik air, dan epakan sirip ikan-ikan bermain di permukaan sungai. Ia merasakan keharmonisan terjalin dari perngertian-pengertian itu, semakin banyak pengertian-pengertian hidup yang kita terima dengan kejujuran, semakin berbahagialah kita”





--
“Tahukah kamu” lanjut pangeran bertanya kepada pengawalnya, “ujian terbesar bagi seseorang yang memegang peta adalah peta itu sendiri”


Pengawal itu hanya mengangguk. Sudah kebiasaannya mendengar dan berusaha mengingat seluruh apa yang dikatakan oleh sang pangeran. Sebab ia yakin apa yang dikatakan sang pangeran sangat penting.



“Hei, itu dia tanaman yang kita cari !” tunjuk sang pangeran di antara dedaunan tak jauh dari mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar