29 Des 2011

Di Malam Natal Saya Tidur dan Bermimpi

by Leonardo Rimba on Sunday, December 25, 2011 at 10:49pm

Di malam Natal saya tidur dan bermimpi. Saya lihat gedung gereja yg telah berfungsi menjadi bioskop. Bagian atas gereja itu hancur, walau aslinya indah. Gedungnya sudah hancur, dan sekarang digunakan sebagai bioskop. Suatu simbol yg pas sekali, saya pikir. Itulah gedung gereja, tempat banyak orang datang untuk menonton tayangan. Ada bermacam kisah layar perak, tinggal pilih saja yg anda suka. Jangan lupa datang tepat pada waktunya.



Gereja-gereja itu tempat menampilkan pertunjukan, saudaraku. Ada yg berperan menjadi pengkhotbah, ada yg berperan menjadi manusia berdosa. Tetapi, sebagian besar cuma ikut-ikutan. Ikutan nonton dengan harapan terhibur. Tentu saja itu tidak apa, suka-suka orang. Kalau suka, datanglah. Nonton dan terhibur. Kalau tidak suka, tidak usah datang. Saya tidak suka, makanya saya tidak datang. Saya tidur di malam Natal, dan dapat mimpi itu. Subhanalloh.



Satu dunia beradab adalah pasar terbuka, open market, setiap orang bebas berjual-beli. Anda mau jual apapun, pasti ada yg beli. Ada harganya. Ada transaksi, uang berpindah tangan. Begitulah agama. Bagian dari produk yg diperjual-belikan di masyarakat terbuka. Yg tidak boleh adalah pemaksaan. Memaksa orang membeli produk anda menyalahi kaidah pasar terbuka. Kalau beriklan, tidak menyalahi. Beriklanlah sebanyak-banyaknya, karena anda tahu akan ada juga yg akan tertarik, dan menjadi pelanggan anda.



Kalau anda tidak suka produk yg ditawarkan, anda bisa produksi barang jenis baru. Anda pasarkan sendiri. Namanya inovasi. Kalau lain dari yg lain namanya terobosan. Dan, memang seperti itulah yg terjadi, sejak dunia mulai berputar dan manusia ada. Agama diciptakan, agama punah dan muncul agama baru. Perkembangan terakhir menyiratkan bahwa agama akan punah. Orang tidak suka nonton di bioskop. Di rumah juga bisa, tinggal putar saja mau film apa. Bisa juga nonton di HP. Bisa menjadi pemeran, penjual, sekaligus penikmat. Bisa direkam, bisa pula tidak. Nothing is impossible with humankind. Walaupun, tentu saja, pemilik dan penikmat produk lama akan bilang: tidak mungkin.. tidak mungkin..



Saya tahu, film yg diputar di bioskop itu dibuat. Ada yg membuatnya, dan tidak begitu saja langsung jadi dan bisa dipentaskan untuk banyak orang. Tetapi, mungkin, banyak yg tidak sadar bahwa film-film itu dibuat. Mereka pikir, film itu memang sudah ada dari sononya. Tidak ada yg membuat, dan jadi begitu saja. Itu film-film ajaib. Seolah-olah hidup, dan memang hidup. Bisa bergerak-gerak. Tetapi cuma permainan cahaya saja. Ada programnya. Kode-kode elektronik yg diterjemahkan mesin dan disorotkan ke atas layar berwarna putih. Banyak yg belum tahu itu, saudaraku. Mereka pikir, semuanya ada secara gaib. Supernatural. Pedahal mekanisme natural saja, biasa dan tak ada yg istimewa. Supernatural cuma istilah, artinya orang belum mengerti. Kalau sudah mengerti akan bilang itu natural saja. Dan itulah agama dan mekanismenya. Natural saja.



Tentu saja saya sudah tahu sejak dulu bahwa gedung gereja itu tempat menampilkan pertunjukan. Yg agak istimewa, gereja sebagai bioskop sekarang menjadi simbol juga bagi saya. Menjadi simbol karena telah muncul sebagai penglihatan di dalam mimpi. Di malam Natal, saya tidur dan bermimpi. Saya mimpi lihat gereja yg jadi gedung bioskop. Alam bawah sadar saya tahu, dan menampilkan simbol-simbol yg pas pada saatnya. Dan itu wajar saja. Natural. Alam pikiran kita adalah mesin pengolah data. Kumpulan data bisa dimengerti dan dimunculkan sebagai simbol. Simbol tinggal diartikan saja.



Banyak pertunjukan yg ditawarkan. Semua tempat beribadah adalah gedung bioskop dimana diputar pertunjukan. Anda bisa memilih mau nonton yg mana. Tidak mau nonton juga tidak apa. Sudah tidak masanya menggiring orang untuk menyaksikan pertunjukan tertentu saja. Setiap orang berhak memilih untuk nonton apa. Bisa juga memilih untuk tidak nonton dengan alasan terlalu membosankan.



There is a new kind of spirituality which says that you are the performer, and the audience as well. Anda bisa jadi pemeran sekaligus penontonnya. Tidak perlu harus dipentaskan di gereja atau tempat-tempat peribadatan lainnya. Bisa dipentaskan dimana saja. Anda tentukan sendiri dimana tempatnya. Anda pentaskan, dan anda nikmati. Anda aktor, aktris, sutradara, penulis naskah, dan penontonnya sekaligus. Itulah spiritualitas jenis baru.



-



Saya mengucapkan Selamat Natal karena ini hari Natal. Minggu depan saya akan mengucapkan Selamat Tahun Baru karena itu hari Tahun Baru. Sama saja seperti saya mengucapkan Selamat Pagi ketika masih pagi, dan Selamat Siang ketika sudah siang. Cuma itu saja, jangan mikir macam-macam.



Kalau orang mengucapkan Selamat Natal kepada anda, balasannya adalah Selamat Natal juga. Itu etiket sopan-santunnya. Jadi, sama saja seperti orang mengucapkan Assalamualaikum kepada anda, yg balasannya adalah Waalaikumsalam. Ini soal balas berbalas ucapan standard, bagian dari basa-basi bersopan-santun dalam masyarakat yg beradab. Tidak ada hubungannya dengan agama.



Sama saja seperti membalas ucapan Selamat Idul Fitrie. Kalau orang mengucapkan Selamat Idul Fitrie kepada anda, maka balasannya adalah Selamat Idul Fitrie juga. Itu etiket sopan santunnya. Tanpa ada embel-embel apapun seperti bilang maaf saya tidak merayakannya, dlsb. Itu tidak perlu. Anda cukup membalas dengan ucapan yg sama.



Untuk anda yg masih ragu, buanglah jauh-jauh perasaan itu, karena ucapan Selamat Natal atau Merry Christmas digunakan oleh semua orang. Bahkan di kalangan orang-orang yg sama sekali tidak beragama. Ini ucapan yg sangat umum. Satu dunia pakai ini. Di negara-negara beradab, anda bahkan diharapkan untuk mengucapkan Merry Christmas kepada semua orang di kantor sebelum Liburan Natal. Say: Merry Christmas! And the reply: Merry Christmas, too!



Inga.. inga.. Jangan kampungan!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar