20 Des 2011

Refleksi Akhir Tahun 2011 ICRP - Oleh Vivi D. Noviyanti

by Leonardo Rimba on Tuesday, December 20, 2011 at 10:18am

Teman-teman,



Berikut laporan Vivi D. Noviyanti yg mewakili Komunitas Spiritual Indonesia menghadiri acara tutup tahun ICRP (Indonesian Conference on Religion and Peace), yaitu lembaga yg didirikan oleh Gus Dur bersama-sama dengan teman-temannya, al. Musdah Mulia dan Djohan Effendi. Djohan Effendi juga anggota di Group Spiritual Indonesia, dan Musdah Mulia akan menjadi pembicara pertama di acara kita berikutnya di Jakarta, 14 Januari 2012 yg akan mengambil tema "Menuju Spiritualitas Universal".



Berikut laporannya:





-



-Refleksi Akhir Tahun 2011 ICRP





Terkejut juga saat menerima undangan dari Prof Musdah Mulia untuk menghadiri Konferensi dan Launching Buku ICRP pada tanggal 15 Desember 2011. Memang undangan ini secara resmi ditujukan pada komunitas SI ­―dimana saya bergabung dan saya yang pertama kali memperkenalkan komunitas ini pada Prof Musdah (sedikit congkak gpp kan Mas Leo)― namun nampaknya saya pribadi wajib dan kudu hadir dalam acara tersebut. Tidak terpikir sama sekali akan melakukan apa dan bagaimana nantinya dalam konferensi tersebut, yang penting datang.



Bahaya Instrumentalisasi Agama di Indonesia, merupakan tema yang ditampilkan oleh ICRP dalam konferensi tersebut. Menurut Prof Musdah Mulia, sebagai Ketua Umum ICRP, konferensi ini merupakan agenda rutin ICRP dan kegiatan refleksi akhir tahun. Melalui konferensi ini diharapkan akan dihasilkan rekomendasi bagi ICRP berkaitan dengan tema tersebut. Secara guyon ditambahkan oleh Prof Musdah bahwa ICRP merupakan wadah untuk menampung uneg-uneg kelompok atau komunitas yang terabaikan (?). Sementara itu dari brosur yang resmi dituliskan bahwa ICRP merupakan organisasi yang bersifat non sectarian, non profit, non pemerintah, dan independen. Salah satu misi ICRP adalah menumbuh-kembangkan multikulturalisme dan pluralisme dalam kehidupan masyarakat. Profil lengkapnya dapat dibaca di www.icrp-online.org



Tema Bahaya Instrumentalisasi Agama Di Indonesia, ditampilkan berkaitan dengan fenomena instrumentalisasi agama di Indonesia yang sudah menjadi (dianggap) umum bahkan dalam konteks tertentu dianggap wajar. Berbagai kasus seperti UU No. 1/PNPS/1965, Polemik RUU Jaminan Produk Halal, RUU Kerukunan Umat Beragama, Perda Syariah, Fatwa Haram MUI atas Pluralisme, Ide Khilafah, Bom bunuh diri dengan dalih jihad dll merupakan bentuk instrumentalisasi agama.



Tentang apa dan bagaimana Instrumentalisasi Agama, telah disiapkan 3 pembicara untuk menguraikan hal tersebut dari sudut pandang yang berbeda yaitu Prof Dr. Azyumardi Azra (Akademisi), Siti Zuhro (perempuan/politik/kebijakan) dan Ade Armando (media).



Sir Azyumardi ―demikian candaan moderator seminar dalam menyebut Pak Azyumardi karena beliau menerima gelar kehormatan tsb dari kerajaan Inggris― menguraikan secara singkat instrumentalisasi agama melalui dua hal yaitu politik dan kelompok radikal transnasional. Di akhir uraiannya disampaikan bahwa untuk mengatasi instrumentalisasi agama dibutuhkan Vibrant Civil Society seperti ICRP atau organisasi sejenis, Advokasi LSM, serta Kelompok Mainstream yang solid seperti NU MUhammadiyah dll untuk melakukan kegiatan yang bersifat inklusif.



Siti Zuhroh menguraikan bahaya Instrumentalisasi Agama melalui aspek politik dan kebijakan Negara. Mendengarkan uraian ibu yang satu ini rasanya seperti mendengarkan kuliah Kewiraan atau saat mengikuti Penataran P4. Cukup sulit bagi saya untuk dapat merangkum uraiannya secara singkat dan padat. Saya hanya dapat mengutip satu butir dari ‘handout’ yang dibagikan sbb:



"kita harus menjauhkan upaya politisasi agama melalui cara-cara yang tidak bias dipertanggujawabkan. Era desentralisasi sekarang ini salah satunya menghasilkan perda yang bertentangan dengan konstitusi dan UU Pemda seperti yang diterapkannya Perda Syariah di beberapa daerah dan juga Perda Injil di Papua. Padahal sudah sangat jelas urusan agama menjadi domain Pemerintah Masional. Namun, tidak sedikit daerah dengan berbagi alasan membuat perda terkait agama”.



Pembacaan sambutan tertulis dari Menkopolhutkam oleh Asisten Menteri yaitu Bpk Sarwani yang masih bergaya Orba membuat saya bisa sejenak berkenalan dengan peserta konferensi yang duduk di samping saya. Busana muslim dan jilbab yang dikenakan membuat saya memperkirakan bahwa ibu tersebut adalah peserta dari organisasi Fathayat NU atau Muhammadiyah. Saya pengurus ICRP dan dari Ahmadiyah, nama saya Y demikian ibu tersebut memperkenalkan diri.



Sumpah mati …. Saya bengong … speechless … entah apa mau bicara apa lagi. Ibu Y juga menjelaskan kelompok Ahmadiyah saat ini seperti pengungsi di Negara sendiri. Pembicaraan tidak menjadi berkepanjangan karena Bang Ade Armando mulai tampil sebagai pembicara terakhir dengan judul Membangun Agama Kekerasan Melalui Media.



Dalam uraiannya, ia menunjukkan cara dan tujuan kelompok anti keberagaman dalam membentuk persepsi public melalui media (bad journalism), komunikasi sosial, pengajian, ceramah agama, diskusi, milis atau teknologi informasi lainnya. Penyebaran kebencian antar umat atau kelompok merupakan salah satu tujuan dari kelompok anti keberagaman tersebut. Di akhir bahasan, ia mengatakan bahwa diperlukan dukungan dari masyarakat sipil untuk menempatkan promosi keberagaman sebagai agenda penting dalam mengatasi kelompok anti keberagaman. Manajemen Persepsi juga perlu dilakukan untuk membangun persepsi positif tentang keberagaman.



Usai rehat makan siang, acara dilanjutkan dengan sessi diskusi kelompok. Romo Johannes Hariyanto, membuka sessi ini dengan menjelaskan tujuan dari Diskusi Kelompok tersebut yaitu membuat Rekomendasi bagi ICRP. Menurut Romo Hari, diskusi ini dibagi dalam 3 komisi.



Komisi 1 membahas tentang Sinergi Antar Komunitas, Komisi 2 membahas tentang Media yang efektif untuk mengatasi kelompok anti keberagaman, dan Komisi 3 membahas tentang UU atau peraturan yang bersifat diskriminatif. Romo Hari juga mempersilakan setiap peserta untuk memilih secara bebas Komisi untuk berdiskusi. Saya memutuskan untuk masuk ke Komisi 1 karena saya merasa perlu untuk memperkenalkan komunitas SI lebih dulu.



Bingung juga saat akan menyampaikan apa bagaimana komunitas Si yang penuh dengan dukun dan orang-orang aneh. Ternyata kebingungan saya tidak perlu muncul, saat saya menyebutkan nama Spiritual Indonesia dengan spontan Bapak Djohan Effendi (founder ICRP dan mantan mensesneg era Gus Dur) mengatakan ‘ooo saya tahu itu’. Lega rasanya karena komunitas dukunnya Om Leo cukup dikenal. Diskusi berlangsung cukup santai dan serius. Dalam Komisi ini saya bertemu dan berkenalan dengan teman-teman dari Ahmadiyah, Fathayat NU, Protestan, Katholik, Buddhis, Bahai, Parmalim dll.



Akhir dari acara Konferensi adalah pembacaan Rekomendasi dari setiap Komisi. Rangkuman hasil Rekomendasi adalah sbb:

Nilai-nilai masing-masing komunitas untuk kebersamaan dan dengan semangat saling menghormati.

Mendorong kegiatan bersama untuk menguatkan nilai-nilai kebersamaan tersebut.

Mendorong pemakaian media secara luas untuk menumbuhkan semangat toleransi dengan memanfaatkan teknologi yang tersedia.

Pro aktif dalam membangun komunikasi dengan berbagai macam pihak terutama lembaga-lembaga resmi

Menaruh perhatian secara khusu untuk menanamkan semangat toleransi diantara kaum muda dengan memakai cara-cara yang sesuai dengan mereka.

Tinjau ulang produk-produk legislasi yang diskriminatif.

Menolak RUU jaminan produk halal dan kerukunan umat beragama.

Aktif ikut serta dalam proses legislatif yang terkait dengan keagamaan dan atau hak-hak sipil perdamaian.

Rekomendasi tersebut menjadi agenda kerja ICRP di tahun 2012. Konferensi akhirnya ditutup dan dilanjutkan dengan launching buku “Satu Dasawarsa ICRP: Melawan Kekerasan Atas Nama Agama”. Buku ini merupakan rangkuman sepak terjang ICRP selama 10 tahun. Buku yang menarik, namun saat launching, ternyata buku tersebut belum selesai dicetak jadi saya tidak dapat mengintip sekilas isi dari buku tersebut.



Yang menarik untuk dicatat, ternyata salah satu pembicara yaitu Mariana (Pimred Jurnal Perempuan) juga menceritakan bagaimana pengalamannya yang traumatis saat masuk menjadi anggota NII. Lagi-lagi saya bereaksi ndeso …. Bengong dan Speechless.



Pukul 17.30, acara berakhir dan ditutup oleh Pak Djohan Effendi. Meskipun berlangsung hampir 9 jam namun saya tidak merasa capek. Senang, takjub, dan lepas adalah emosi yang muncul saat saya pulang dari acara tersebut. Di acara tersebut saya bertemu dan berkenalan dengan teman-teman yang berbeda agama, keyakinan, kepercayaan, orientasi seksual dll. Kejujuran, ketulusan dan keberanian yang ditampilkan mereka membuat saya memiliki pemahaman baru tentang bagaimana menjalani proses hidup ini. Menjadi berbeda bukan suatu kesalahan, menjadi berbeda juga bukan sekedar lain dan unik, menjadi berbeda ternyata menjadi berani dan jujur terhadap “keberbedaan” itu sendiri.



Cukup sekian laporan saya dari Konferensi ICRP. Mudah-mudah tidak ‘bete’ baca tulisan saya, karena saya sendiri cukup ‘bete’ membaca ulang tulisan saya. Abis bagaimana lagi, saya ya seperti ini kalau menulis.



Salam,

Vivi D. Noviyanti

Tidak ada komentar:

Posting Komentar