You know what? Saya tidak suka orang spiritual yg berbakat menipu, dengan bilang ada kiriman batu perhiasan atau keris dari leluhur. Itu trick. Tipuan. Untuk apa menipu? Kita mau jadi orang pinter, atau mau jadi orang dogol? Think about this. Tidak perlu cocologi. Tidak perlu tricks. Kita berbagi saja. Yg rasional saja. Kita semuanya sudah berpendidikan, at least S 1. Bukan lagi orang di kampung dan di atas gunung yg bisa percaya segala macam setan dhemit. Change... Change... change... Berubahlah. Jangan jadi bahan tertawaan orang. You are worth more than you imagine you are.
Di negara-negara beradab, termasuk di Belanda dan AS, menyatakan diri ateis adalah hal lumrah, biasa saja. Mengajak orang menjadi ateis sama saja nilainya dengan mengajak orang menganut agama. Jadi, semuanya berada di jalur pasar bebas. Bebas jualan apa saja, bebas jualan agama, bebas jualan ateisme. Yg tidak boleh adalah melakukan pengrusakan atas harta benda maupun tubuh fisik orang lain. Kalau pengrusakan itu sudah dilakukan, seperti yg kita semua tahu bersama, maka yg bersalah adalah yg melakukan pengrusakan itu. So, jangan ada lagi orang yg sok tahu hukum, dan bilang seolah-olah masyarakat di negara-negara beradab di Barat segoblok masyarakat di Indonesia. Seolah-olah disana orang ateis juga dibungkam seperti di Indonesia. Tidak begitu. Ateisme itu sama nilainya seperti agama di negara-negara Barat. Sama-sama sistem kepercayaan. Boleh dijual dengan bebas. Orang bebas beli, bebas tidak beli. Yg tidak boleh adalah pengrusakan harta benda milik sesama pedagang. Pedagang agama tidak boleh merusak milik pedagang ateisme, and vice versa.
Kalau kita sudah mengakui kegoblokan kita, maka artinya kita sudah mau maju. Sudah mau berubah. Sudah mau membuka mata, bahwa ini semuanya soal jualan. Ada yg jualan agama, ada yg jualan ateisme. Haknya sama, sama-sama berhak berjualan. Itu saja anda coba mengerti, kalau mau berubah, menjadi sedikit lebih pintar. Tanpa perlu mengusir-ngusir orang ateis. Mengusir orang lain yg anda anggap tidak bertuhan. Ini negeri juga didirkan oleh orang-orang ateis, dan yg bikin pengrusakan dimana-mana adalah orang bergama. Yg menista agama lainnya adalah orang-orang beragama juga. Dimana-mana penistaan agama dilakukan oleh orang beragama. Dan itu boleh saja. Lumrah, namanya jualan agama. Walaupun dengan cara menjelek-jelekkan agama tetangga. Yg tidak boleh adalah melakukan pengrusakan fisik. Dan itu juga sudah dilakukan. Ini semuanya kebejatan, saudaraku. Indonesia memang bejat, saya akui, saya warga dari negara bejat.
-
Penistaan agama berlaku terhadap semua sistem kepercayaan yg diyakini orang. Kalau anda menista ateisme, berarti anda melakukan penistaan agama. Ateisme itu statusnya sama seperti agama, sistem kepercayaan pribadi per pribadi. Anda bisa saja termasuk teis (beragama), bisa juga ateis (tidak beragama), merupakan HAM (Hak Asasi Manusia) bagi anda untuk menjadi teis ataupun ateis. HAM itu hak, bukan kewajiban. Anda berhak: berhak beragama, berhak tidak beragama. Agama anda sendiri bisa apa saja, bisa tanpa agama, yg dalam hal ini disebut ateisme. Agama dan ateisme statusnya sama. Kalau anda menista ateisme, artinya anda menista agama juga. Dan itu tidak apa, namanya HAM juga, yaitu HAM Kebebasan Berpendapat. Pendapat anda pribadi. Yg tidak boleh adalah melakukan pengrusakan fisik terhadap harta benda maupun diri pribadi orang lain. Pengrusakan itulah yg kriminal. Pidana. Tapi orang Indon tidak mengerti ini. Dikira ateisme bukan agama, pedahal itu agama juga, dan manusianya dilindungi. Dilindungi oleh satu dunia beradab, dan didzolimi oleh bagian dunia yg belum beradab atau masih setengah beradab seperti Indonesia.
Indonesia ini takabur, jadi orang Indon merasa sudah sangat tercerahkan karena ini negara mengakui 6 (enam) agama resmi, dan di luar itu adalah agama-agama liar. Pedahal jumlah agama tidak terhitung. Ateisme itu termasuk agama juga karena mempunyai belief system tertentu. Mereka mempunyai semacam dogma juga, yaitu tidak mau percaya dogma-dogma yg dibuat oleh agama-agama sebelumnya.
So, di negara-negara beradab, tidak ada itu yg namanya umat Islam merusak rumah ibadah milik orang Ahmadiyah. Kalau ada, maka artinya perbuatan kriminal tingkat berat. Itu pidana berat, sama sekali tidak bisa ditoleransi. Kalau di Indonesia, haha.. Sedangkan yg namanya hate crime adalah penistaan-penistaan itu. Omongan di belakang pintu. Kalau masih dilakukan untuk kalangan sendiri, dan tidak menjadi perbuatan pengrusakan secara fisik, maka masih bisa ditolerir, artinya Free Speech (Kebebasan Berbicara). Kalau sudah bernada mengancam, seolah-olah mau melakukan pengrusakan fisik, maka barulah bisa ditangkap. Diberikan peringatan saja. Dan kalau sudah berupa tindakan fisik, maka bukan hate crime lagi, tetapi sudah crime. Kriminal asli.
-
Outside of hate crime, saya rasa sudah cukuplah pula kegilaan cocologi para piramida-maniacs itu. Jangan bikin malu pendukung budaya. Orang Perancis buat piramida di Museum Louvre, di kota Paris, dengan arsitek Cina-Amerika, I. M. Pei. So, daripada kita di Indonesia bongkar gunung tak bersalah, yg kita tahu isinya tanah dan batu biasa, lebih baik buat piramida saja. Saya rasa cocok sekali buat piramida di Pelataran Monas. Tanahnya masih ada, masih cukup.
Yg lebih lucu, the piramida-maniacs mengaku-ngaku keturunan orang Atlantis. Gak mungkinlah. Orang Atlantis were very genius. Tidak mungkin orang Indon keturunan Atlantis. Dari penampakan hasil kerja otaknya saja sudah terlihat tidak nyambung. Jauh panggang dari api. Jauh.. jauh..
Saya rasa mereka terkena gejala minder, rendah diri, mau membuktikan diri sebagai keturunan manusia berperadaban tinggi which, in this case, manusia Atlantis. Kenapa minder? Karena di masa kini terbukti mereka punya budaya melempem. Bisanya sesumbar berbudaya tinggi, tapi ternyata orang-orangnya memble. Budaya tinggi cuma di bibir saja, secara praktek orang-orangnya memble, mental tempe. Maka dicarilah kambing belang which in this case is piramida Atlantis. Disebarkanlah desas-desus seolah-olah orang Indon adalah keturunan Atlantis.
So, mendukung budaya is ok. Tapi kalau sudah mencapai taraf kegilaan, yg jadi bukan bagus lagi. Tapi memuakkan. Sama memuakkannya seperti cocologi yg dilakukan orang agama. Dicocok-cocokkan. Tapi tetap saja tidak cocok. Tidak nyambung. Yg nyambung cuma satu, yaitu kegilaannya.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar