Seharusnya pendidikan kita mampu membuka wawasan, menjadikan anak didik kritis, dan memberdayakan mereka untuk menemukan jalur hidup mereka masing-masing. Seharusnya pendidikan membuat kita menjadi 'paham' atau 'mengerti'. Kemudian dengan pemahaman dan pengertian itu kita menciptakan sebuah sistem kepercayaan bagi diri sendiri, entah kepercayaan pada Diri dengan 'D' besar, Sang 'Aku' dengan 'A' besar atau pada Gusti Allah, Tuhan – tergantung pada diri kita, sosok dan sebutan apa yang kita sukai. Barangkali ada yang lebih suka dengan sebutan beraroma ilmu pengetahuan seperti 'energi yang maha', terserah selera masing-masing orang. Tetapi sayangnya saat ini bukanlah seperti itu yang terjadi. Keadaan kita saat ini justru sebaliknya.
Sejak lahir, kita berhadapan dengan kepercayaan. Bukan pendidikan tapi kepercayaan. Bukan pula pendidikan tentang kepercayaan-kepercayaan tetapi dogma dan doktrin dengan salah satu kepercayaan yang sudah baku. Sudah tidak ada tawar-menawar lagi. Sejak lahir, seorang anak sudah diberi cap agama tertentu. Ia tidak diberi kesempatan untuk memilih dan harus menerima apa yang sudah ditentukan oleh kedua orangtuanya baginya. Hak pilih kita sudah dirampas sejak kelahiran kita.
(Neospirituality & Neuroscience, Anand Krishna – Dr Bambang Setiawan, Gramedia, 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar