Beberapa tahun yang lalu aku pernah bekerja di tempat teman yang kukenal di kursus jahit dan desain busana. Dia membuka usaha jahit pakaian wanita. Pelanggannya banyak minta dibuatkan kebaya, karena di Bali kebaya sering dipakai untuk acara-acara adat dan sembahyang di pura. Aku menjadi penjahit disana.
Kebanyakan kebaya yang dijahit itu berbahan kain brokat. Ada beberapa macam brokat. Ada brokat lokal yang katanya buatan Bandung, itu paling murah, mulai dari harga sekitar Rp.20 ribu untuk satu kebaya. Ada juga brokat impor, disebut brokat Jepang, brokat Itali dan brokat Prancis. Brokat prancis yang paling mahal, kisaran harganya Rp. 800 ribu sampai 1,2 juta rupiah untuk selembar kain ukuran sekitar 1,2 x 1,75 m yang bisa dijadikan sebuah kebaya. Karena harganya yang lumayan, biasanya kebaya dari bahan ini dibuat karena pemakainya akan menikah atau wisuda. Jadi memakai kebaya baru untuk hari istimewa tersebut.
Tetapi ada seorang ibu yang cukup sering minta dibuatkan kebaya berbahan brokat tersebut untuk dirinya. Kalau dirata-rata selama 2 tahun aku bekerja di tempat itu dia membuat kebaya dengan bahan yang mahal itu sekitar 2 baju sebulan. Ternyata dia membeli pakaian mahal itu untuk pelarian, menghibur dirinya, karena hidupnya tidak bahagia.
Sambil fitting baju kebaya dia sering curhat berlama-lama dengan temanku, aku ikut mendengar sambil bekerja. Pernikahan ibu ini tidak bahagia. Suaminya mewarisi pertokoan di kawasan wisata pantai Kuta, Bali. Jadi rumahtangganya dibiayai dari sewa toko-toko ini. Sewa toko di Kuta memang mahal, jadi secara materi keluarga ibu ini bergelimang uang. Tapi sang suami menghabiskan uang ratusan ribu rupiah sehari karena kecanduan obat terlarang. Mereka sudah memiliki 4 anak. Usia ibu ini berkisar 35-40 tahun.
Suaminya mempunyai wanita simpanan. Ibu ini pernah berbicara baik-baik wanita simpanan suaminya ini, untuk menikah saja dengan suaminya. Sementara ibu ini mau saja dimadu atau tinggal terpisah dari suaminya, tapi wanita itu tidak mau, dia lebih suka jadi pacar gelap saja, seperti itu.
Keluarganya dan keluarga suami adalah orang-orang Bali yang masih sangat terikat adat. Dalam adat Bali, apabila seorang wanita bercerai dari suaminya, dia dikembalikan ke keluarga orangtuanya, tanpa membawa anak. Jadi, bila bercerai, ibu ini harus hidup terpisah dari anak-anaknya, sesuatu yang umumnya sulit dilakukan oleh perempuan.
Mungkin latar belakang keluarga ibu ini dari keluarga yang pas-pasan secara ekonomi, sehingga waktu dulu bertemu dengan calon suami yang berasal dari keluarga yang secara ekonomi berlebih, tanpa banyak pertimbangan langsung menikah. Mungkin dia tidak terlalu menyelidiki karakter calon suaminya.
Sekarng kerja di mana dong? Lagi nyari karyawan nih hehehe...
BalasHapusSekarang saya kerja sebagai staf administrasi di perusahaan swasta.
BalasHapus