Berlainan dengan Cina dan Jepang yg memang sudah bersatu dari sononya, Indonesia ini disatukan oleh Belanda. Baru benar-benar tuntas setelah 300 tahun orang Belanda jungkir balik di kepulauan ini. Tidak mudah untuk membawa manusia yg buta huruf dan terbelakang untuk mulai mengerti bahwa bumi ini bulat, bahwa manusia dilahirkan bebas, bahwa tiap orang berhak untuk menjadi dirinya sendiri. Tidak mudah untuk meluruskan salah kaprah, apalagi yg sengaja direkayasa dan dibina. Suka salah kaprah, kesurupan dan latah adalah ciri khas orang Indon. Kita bisa lepas dari ketiganya, kalau mau.
Desember 2011
by Leonardo Rimba on Thursday, December 1, 2011 at 11:06am
Sudah masuk bulan Desember, harusnya perayaan Sinterklaas sudah dimulai di Holland. Puncaknya nanti tanggal 6 Desember, 5 hari lagi. Dulu di Indonesia masih banyak perayaan seperti ini, saya termasuk mengalaminya. Mungkin sekarang sudah makin habis, atau sudah habis total barangkali, walaupun Sinterklaas juga bagian dari warisan budaya kita. Yg sekarang laris manis is Santa Claus dari AS.
Kita memang gampang melupakan budaya. Langsung switched ke Santa Claus, sedangkan di Belanda sendiri Sinterklaas tetap eksis. Dan itu bukan agama, tentu saja. Orang Belanda (dan orang Kristen Indonesia) tidak membedakan agama orang. Perayaan Natal selalu terbuka bagi semua orang dari dahulu sampai sekarang. Itu warisan Belanda yg sangat bagus, gereja-gereja tidak pernah membedakan orang. Tetapi dipaksa untuk menutup diri oleh pemerintah NKRI. Dipaksa untuk menaruh kata-kata "berlaku untuk kalangan sendiri".
Itu pemecah-belah bangsa yg dimulai oleh Rejim Suharto. Aslinya, gereja-gereja tidak seperti itu, dan masih tidak begitu. Semuanya terbuka bagi siapa saja yg mau datang dan partisipasi.
Ini pengamatan kritis dan analitis, tanpa berusaha berpura-pura. Saya lihat di Bali juga seperti itu. Kita bisa ikut serta perayaan-perayaan orang Bali. Bahkan yg dilaksanakan di dalam pura. Orang Bali juga tidak membedakan agama orang. Kalau tertarik dan mau partisipasi, maka bisa ikut serta. Dari dahulu sampai sekarang seperti itu. Buddha juga seperti itu, siapa saja bisa datang dan ikut serta upacara di vihara. Kejawen juga seperti itu. Dan ini semua mulai hancur berantakan ketika pemerintah NKRI di bawah Suharto mulai memaksakan kata-kata "berlaku untuk kalangan sendiri" di dalam undangan yg dikeluarkan gereja-gereja. Subhanalloh, maksiat.
Di seluruh dunia seperti itu situasinya, perayaan Natal selalu terbuka bagi semua orang. Bukan Natal saja malahan, tetapi setiap saat. Kalau kita lihat, di depan gedung gereja selalu terpampang jam-jam kebaktian / misa. Itu waktu ibadah yg terbuka bagi semua orang. Bisa ikut serta kalau mau. Tidak dibatasi untuk orang Kristen saja. Di satu dunia seperti itu situasinya karena lembaga-lembaga agama adalah lembaga terbuka. Tidak boleh bersifat eksklusive / tertutup. Kalau mendaftar sebagai lembaga keagamaan, syaratnya harus terbuka. Harus membuka pintu bagi siapa saja yg tertarik untuk melihat dan partisipasi, walaupun tidak menjadi anggota.
Ini cara yg sangat beradab. Very civilized. Kristen seperti itu dari dahulu. Buddha juga. Hindu juga. Dan Kejawen juga.
Saya sudah sering meluruskan salah kaprah. Ini satu lagi salah kaprah yg perlu diluruskan. Saya bukan anggota gereja, tetapi saya tahu bahwa gereja di satu dunia selalu terbuka. Tidak pernah exclusive dan membedakan orang. Selalu terbuka bagi siapa saja yg mau datang dan melihat langsung. Tidak ada itu "berlaku bagi kalangan sendiri". Kata-kata itu dipaksakan oleh Rejim Suharto, untuk menimbulkan kesan seolah-olah orang Kristen exclusive. Itu pembodohan massal juga. Faktanya, Kristen selalu terbuka bagi siapa saja yg mau melihat mereka punya upacara dan perayaan. Kalau ada perayaan Natal dan bagi-bagi hadiah, semua orang dapat. Tanpa membedakan agama orang.
Dan ini praktek yg sangat manis. Memperlihatkan kemanusiaan kita. Yg seperti ini tidak perlu dimaki-maki sebagai "kristenisasi" karena mereka cuma menjadi diri sendiri saja. Diri sendirinya memang seperti itu.
Memang mengajak orang untuk masuk Kristen juga, tetapi itu soal lain. Itu namanya penginjilan. Kalau soal buka pintu dan bagi-bagi hadiah Natal, itu bukan penginjilan, melainkan tradisi.
Itu tradisi yg diwarisi dari Belanda. Bersikap terbuka bagi semua orang. Dimulai oleh Belanda, dan akhirnya dipraktekkan oleh satu dunia. Bahkan di kalangan orang bulez, Belanda termasuk pelopor. Belanda itu negara paling liberal dari dahulu sampai sekarang. Nomor satu paling liberal, paling manusiawi, paling berperi-kemanusiaan. Bahkan sampai saat ini. Kita rugi besar apabila meninggalkan tradisi yg diwariskan Belanda karena nilai-nilai kemanusiaannya tidak tergantikan. Bahkan semakin relevan. Bahkan semakin liberal. Seharusnya kita mengikuti Belanda yg bergerak terus.
Negara ini disatukan oleh Belanda, energinya berasal dari simbol Belanda. Dan simbol itu berarti keterbukaan, pemikiran rasional, kejujuran, dan segala macam yg positif. Tetapi Rejim Suharto dan mungkin banyak orang Indon dari kampung-kampung juga yg salah kaprah, mengira tradisi Belanda adalah Setan. Pedahal yg Setan adalah tradisi pribumi. Korupsi, nepotisme, basa-basi... itu tradisi pribumi. Yg dari Belanda kebalikannya.
Saya berkesimpulan, kalau ada kelompok orang yg merasa ditekan di masa kolonial Belanda, maka mereka ditekan oleh pemimpin-pemimpin mereka sendiri. Oleh para priyayi pribumi. Belanda justru mau membebaskan agar orang Indon merasa sederajat. Tetapi otak kawula negara kolonial Hindia Belanda tidak nyampe. Yg nyampe melihat itu cuma orang terdidik seperti M. Hatta. Bahkan Hatta ditawarkan untuk menjadi anggota parlemen Belanda di Den Haag. Tetapi Sukarno kebakaran jenggot. So, ada konspirasi disini. Ada pertentangan antara Sukarno yg melihat ke belakang, cupat dan arogan. Dan Hatta yg melihat ke depan, berpandangan luas, rasional dan manusiawi. Kalau anda selama ini sudah mengambil spirit dari Sukarno, cobalah sekarang ambil dari Hatta.
Jangan dianggap M. Hatta cuma pendamping Sukarno. Tidak begitu. Sukarno harus pegang Hatta karena Hatta adalah prototype manusia terdidik. Manusia internasional. Diterima dimana-mana. Tidak kesetanan.
Tetapi segalanya menjadi amburadul ketika Sukarno menunjuk dirinya sendiri menjadi presiden seumur hidup. Ada konsep Demokrasi Terpimpin yg disempurnakan di jaman Orde Baru dengan nama Demokrasi Pancasila. Sekarang masa jahilliyah itu sudah lewat, tetapi kita masih bingung. Kita kehilangan tradisi kita. Kita lupa, bahwa kita mewarisi tradisi demokrasi dan liberalisme dari Belanda. Yg menyatukan Sabang sampai Merauke adalah Liberalisme, perdagangan bebas, penghormatan terhadap hak-hak individu. Dulu cuma sedikit demi sedikit bisa diperkenalkan oleh Belanda karena masyarakat kita masih terlalu terbelakang. Sekarang, kalau mau, kita bisa mengunyah sendiri semuanya. Belajar sendiri.
Lihatlah ke Belanda. Mereka konsisten dari dahulu sampai sekarang. Tidak ada rasisme, tidak ada diskriminasi. Beda jauh dengan salah kaprah yg dipaksakan kepada kita. Belanda tidak seperti itu, tidak sejahilliyah itu. Yg jahilliyah adalah leluhur kita sendiri. Belanda membebaskan semuanya sehingga kita siap bergabung dengan satu dunia beradab. Tidak langsung tentu saja, tetapi sedikit demi sedikit.
Semakin lama kita semakin mengerti bahwa kita sudah dipersiapkan. Kita sudah jadi seperti orang Belanda 200 tahun lalu, mungkin. Tahun depan kita akan jadi orang Belanda 100 tahun lalu. Tahun depannya lagi kita jadi orang Belanda 50 tahun lalu. Dan tahun depannya lagi kita akan jadi seperti orang Belanda saat ini, Desember 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar